Polemik soal besar remunerasi Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bikin pusing saja. Yang membuat pusing bukan kalangan yang mempertanyakan nominal 100-an juta itu melainkan orang-orang yang berpendapat mewajarkan nilai itu, yang berniat baik untuk menjelaskan tetapi penjelasannya justru kian bikin pusing, bahkan mengundang konflik.
Kebingungan dan silang pendapat ini seharusnya sudah beres andai saja Menkeu Sri menjelaskan dengan gamblang komponen-komponen remunerasi itu. Menutup-nutupi dengan kilah macam-macam hanya memperunyam kondisi dan berdampak liar melukai ketokohan para cendekia dan bijak bestari di DP-BPIP.
Pandangan bahwa Rp 100-an juta per individu Dewan Pengarah BPIP itu kelewat tinggi didasarkan kepada ketidaktahuan item-item apa saja yang dicakup oleh nominal demikian. Penjelasan yang Bu Sri sampaikan belum terang-benderang.
Inilah problem utamanya. Hal lain seperti kondisi krisis, kemiskinan rakyat, dan utang publik yang menumpuk hanya bunga-bunga argumentasi.
Tetapi sebelum saya sampaikan pendapat tentang apa saja informasi yang perlu Menkeu sampaikan kepada publik; ada baiknya saya buat dulu daftar model-model penjelasan yang membuat kita semakin pusing sehingga semoga tak perlu diulang-ulang terus.
Pertama, fallacy of dramatic instance dan mutasi kontradiksi
"DPR bergaji tinggi, hakim agung dan pejabat Bank Indonesia bergaji sangat tinggi, para menteri bergaji tinggi, ya pantaslah jika para anggota Dewan Pengarah PBIP juga bergaji tinggi."
Kesalahan berpikir seperti ini yang paling sering dijumpai dalam pernyataan orang-orang yang gerah oleh keingintahuan publik mengapa remunerasi Dewan Pengarah BPIP bisa mencapai Rp 100 juta.
Jika tidak disengaja, ini memang fallacy of dramatic instance. Seolah-olah jika pejabat tinggi lain bergaji tinggi, otomatis benar dengan sendirinya gaji Badan Pengarah BPIP juga tinggi.
Sungguh sayang jika profesor seperti Pak Mahfud yang saya idolakan kemudian juga terjebak berargumentasi dengan cara begini.
Tetapi jika disengaja, dalam arti si pembela tahu ini keliru namun tetap mengajukannya sebagai argumentasi maka hal ini patut diduga sebagai upaya mutasi kontradiksi.