Kita sudah pernah membahas soal toleransi sebelumnya, membicarakan pengertiannya dan menerapkannya dalam menilai polemik soal warung makan. Kini kita bicara tentang etika berpakaian selama bulan Ramadan terutama bagi kalangan non-Muslim. Mengapa begitu?
Dalam konteks kebudayaan Indonesia, toleransi perlu dimaknai dalam kualitas yang lebih tinggi, yaitu tepa salira.
Tepa salira bukan sekedar membiarkan orang lain melakukan sesuatu yang mungkin tidak kita setujui atau yakini---selama hal itu baik adanya---tetapi juga mendukung orang melakukan itu. Dalam konteks agama, hal itu bisa dilakukan tanpa harus menyakini nilai-nilai atau kepercayaan di balik itu.
Membiarkan orang lain menjalankan ibadahnya adalah toleransi. Sebuah tindakan pasif. Tetapi membantu agar ibadah itu sukses adalah tepa salira, sebuah campur tangan aktif.
Banyak kok yang melakukan itu di NTT. Setiap Natal, pemuda-pemuda Ansor dan PMII biasanya turut menjaga di lingkungan gereja. Demikian pula pemuda Katolik dan Protestan sering ikut mengamankan dan menjaga parkir saat salat Ied Idul Fitri.
Selain soal makanan sebagaimana telah kita bicarakan dalam artikel "Toleransi dan Polemik Warung," hal berpakaian, terutama outdor outfit juga penting menjadi perhatian kalangan non-Muslim selama masa Ramadan.
Ada sejumlah keluhan yang disampaikan di media sosial tentang orang-orang, terutama kaum perempuan yang berpakaian tidak cukup tertutup di ruang publik.
Sudah jamak bahwa lelaki cenderung berpikir macam-macam saat melihat bagian tubuh tertentu pada perempuan. Berpikir jorok. Ya, sebut saja begitu. Anda tahu maksudnya, bukan?
Saat ini tidak penting untuk memperdebatkan bagaimana sampai lelaki mudah berpikiran jorok. Entah itu karena jiwa maskulin hasil bentukan masyarakat, hormon lelaki yang memang begitu, atau mungkin sudah demikian cara tubuh kita bekerja. Sudah dari zaman dahulu begitu adanya.
Tidak elok dan tidak rasional sikap keukeuh "it's just tok*t, otak lu aja yang ngeres."