Artikel ini adalah bagian keempat dari seri artikel tentang serikat buruh dan tantangannya yang sudah terbit berangkai sejak awal Mei. Bagian ini mendiskusikan gerak pendulum sejarah pendekatan negara (pemerintah) terhadap gerakan buruh, antara pendekatan rezim otoriter dan demokratis. Ini penting untuk memahami bahwa apa yang dihadapi kini bukan barang baru.
Artikel "TKA dan Akhir Internasionalisme Kelas Pekerja?" bagian 1 mengupas soal memudarnya prinsip internasionalisme dalam tataran praksis gerakan buruh Indonesia sebagai dampak masuknya buruh kerah biru asing. Dalam bagian 2 kita membahas fitur dari fleksibilitas pasar tenaga kerja sebagai bagian dari neoliberalisme atau penerapan Washington consensus. Sudah masuk dan potensi masuknya buruh kerah biru asing ke Indonesia berkaitan dengan kelenturan pasar tenaga kerja.
Pada bagian 3, "Agama Baru, Investasi Asing dan Problem Buruh" kita bercerita tentang bagaimana paket perundang-undangan ketenagakerjaan yang ada saat ini merupakan pewadahan atas kebutuhan fleksibilitas tenaga kerja yang dikehendaki modal asing melalui pendekatan yang dilakukan lembaga-lembaga internasional sebagai struktur suprastate.
Pada bagian ini kita berdiskusi tentang karakter rezim dalam menyikapi gerakan buruh. Saya merasa bagian ini perlu sebab dalam pandangan saya, ada tiga hal yang menjadi tantangan gerakan buruh Indonesia saat ini: peran dan posisi negara serta karakter rezim, karakter massa buruh, dan kemunculan kontradiksi perifer menjadi pokok.
Termasuk di dalam bagian ini adalah jawaban atas pertanyaan mengapa regulasi ketenagakerjaan yang ada mewadahi prinsip kelenturan pasar tenaga kerja tetapi sekaligus tampak pro-buruh.
***
Menelusuri pustaka, saya temukan paper yang sudah lama ditulis Joan M. Nelson, "Organized Labor, Politics, and Labor Market Flexibility in Developing Countries." Ini laporan riset yang dipublikasikan dalam jurnal The World Bank Research Observer, vol. 6, no. I (January 1991).
Dari penelitiannya atas kondisi sejumlah negara di era 1980an, Nelson membuktikan pola pendekatan pemerintah yang berbeda-beda berdasarkan tipe rezim berdampak pada perbedaan strategi buruh sebagai responnya.
Nelson melihat kekuasaan negara bersifat relasional. "Power is relational," katanya. Kekuatan pemerintah, sikap dan basis dukungan, serta strategi pemerintah terhadap pasar tenaga kerja turut membentuk kekuatan, otonomi, dan orietansi gerakan buruh sebab serikat buruh menyesuaikan tindakan (strategi perjuangan) dengan konteks politik.
Nelson tidak menyebutkan dari mana ia berasumsi power is relational. Juga tidak terdapat dalam catatan kaki atau bibliografi yang digunakan. Cacat ilmiah sebenarnya.