Dari sekian banyak warisan persoalan Orde Baru, yang tampaknya sepi perhatian publik adalah kasus korupsi Yayasan-Yayasan Soeharto. Saya tidak sangka jika keputusan pengadilan tentang pengembalian 75% dana kasus itu belum selesai juga. Padahal sejumlah pemilik perusahaan penerima dana saat ini memimpin partai, bahkan menjadi calon presiden.
Diberitakan cnnindonesia.com baru saja (21/5), pengembalian dana yang disalahgunakan Yayasan Supersemar hingga 2018 baru mencapai Rp 241,8 miliar dan masih tersisa Rp 4,2 triliun.
Padahal proses hukum atas kasus ini sangat panjang, bermula dari temuan Tim Kejagung dan pembentukan Tim Investigasi Kekayaan Soeharto pada pada awal September 1998 dan dikeluarkannya Inpres 30/1998 tentang Pengusutan Kekayaan Soeharto oleh presiden Habibie. Desember 1998, Jaksa Agung menjelaskan temuan kekayaan sejumlah yayasan Soeharto mencapai Rp4,014 triliun. Pada Februari 1999, Soeharto mengembalikan uang negara sebesar Rp5,7 triliun.
Kuatnya perlawanan dari loyalis Cendana yang masih bercokol di pemerintahan membuat proses pengusutan dan penuntutan terhenti. Kejagung mengeluarkan SP3 pada 11 Oktober 1999 tetapi dibuka kembali oleh Presiden Gus Dur pada 6 Desember 1999.
Soeharto dinyatakan sebagai tersangka pada 31 Maret 2000 dan menjadi tahanan kota kemudian tahanan rumah di akhir April. Pada 30 Agustus 2000, Soeharto menjadi terdakwa. Sejak itu Soeharto sakit dan mangkir dari persidangan. MA akhirnya mengeluarkan keputusan pengadilan terhadap Soeharto tidak dapat dilakukan.
Beruntunglah, pada 27 Maret 2008, PN Jaksel mengabulkan gugatan Kejagung, menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti rugi kepada negara sebesar Rp46 miliar. Karena Soeharto telah meninggal, tanggung jawab itu jatuh kepada keluarganya selaku ahli waris. Keputusan ini ternyata salah ketik, kurang angka nol sehingga Jaksa mengajukan PK.
Pada Juli 2015, MA mengabulkan PK Jaksa dan menolak PK Yayasan Supersemar. Dengan demikian, keluarga Soeharto harus membayar ganti rugi kepada negara Rp 4,4 triliun. (Disarikan dari cnnindonesia.com).
Mengetahui informasi sebatas ini, jelas saya jengkel. Proses pengusutan hingga keputusan MA butuh waktu 17 tahun. Ketika keputusan MA telah keluar, eksekusinya belum juga tuntas setelah hampir 3 tahun.
Yang bikin tambah marah adalah sejumlah perusahaan penerima Dana Supersemar dimiliki oleh Pak Prabowo (PT Kiani Lestari dan Kiani Sakti Rp 150 miliar) dan Pak Tommy Soeharto (PT Sempati Air Rp 13,173 miliar). Kan kedua orang itu mendirikan partai. Pak Prabowo bahkan mau maju calon presiden 2018. Artinya mereka punya uang. Kenapa tidak disita saja dari mereka? Demikian pikir saya.
Jika tidak berhati-hati, saya tentu sudah mempersalahkan pemerintahan Pak Jokowi, menulis status di facebook atau twitter, "Payah. Rezim ini sama saja memblenya. Mandul di hadapan kekuatan Cendana. Ternyata cuma pelanjut Orde Baru."