Om Rhenald Kasali pernah menulis pada 2013,"Banyak orang berpikir muluk-muluk untuk melakukan perubahan. Faktanya, hanya orang-orang yang sederhana atau mampu menyederhanakan pikirannya sajalah yang mampu melakukan perubahan."(1) Om Rhenald menulis tentang Kamilus Tupen, aktor perubahan dari Adonara, NTT yang saat itu baru saja mendapat penghargaan Kusala Award.
Dua tahun sebelum itu saya bertemu Pak Kamilus di Adonara. Ia sedang bersama-sama para aktor perubahan di Adonara dalam kegiatan visioning yang diadakan Perkumpulan Pikul untuk mendorong aksi sinergis antara individu-individu aktor perubahan sosial-ekonomi di pulau kecil itu.
Di pagi hari, seorang lelaki di tengah kerubungan peserta tampak cerewet menceritakan keluh kesahnya tentang kelemahan-kelemahan koperasi di NTT. Cerewet pula menceritakan alternatif yang ia buat di kampungnya, sebuah organisasi yang ia sebut Kelompok Tani Lewewerong. Ia Pak Kamilus Tupen.
Saya mendekatinya, berkenalan dan mendengarkan gagasan-gagasannya. Saya katakan apa yang ia buat sebenarnya juga koperasi, juga ekonomi gotong-royong. Tetapi ia bersikeras tidak ingin disamakan dengan koperasi. Menurutnya koperasi hanya menciptakan budaya gali lubang tutup lubang, memudahkan orang meminjam tetapi tidak dicarikan jalan keluar. Karena itu Pak Kamilus menamakan organisasinya Kelompok Tani Lewowerang (KTL), tanpa kata koperasi.
Setelah acara hari pertama, saya katakan kepada rekan fasilitator, Om Frits Nggili, orang hebat yang mendirikan Geng Motor Imut, sebuah kelompok relawan inovatif di bidang peternakan dan energi alternatif di Kota Kupang, "Kita sudah temukan champion di Pulau ini."
Setahun kemudian, setelah upaya kami mempromosikan Pak Kamilus sebagai nominee NTT Academia Award gagal menang, saya ajukan kepada para bos Perkumpulan Pikul untuk adakan riset lebih jauh tentang apa yang Kamilus lakukan. Saya yakin KTL adalah sebuah solidarity economy, sebuah praktik moderen ekonomi gotong royong perlu telaah lebih jauh agar dapat direplikasi di tempat lain.
Om Torry dan Nyora Silvi, dua kakak sulung Perkumpulan Pikul masa itu setuju. Maka menginaplah saya beberapa pekan di rumah Pak Kamilus di Adonara.
Ketika mendapat terusan email dari panitia Kusala Award--Bu Sri Palupi jika tak salah-- yang membutuhkan rekomendasi peraih penghargaan, saya mengirimkan ringkasan profil Kamilus Tupen dan Kelompok Tani Lewowerang. Benarlah keyakinan saya, Pak Kamilus sukses meraih penghargaan itu.
Beberapa bulan sebelumnya, saya juga mengajukan Pak Kamilus untuk penghargaan Asoka. Ia lolos sampai tahap wawancara oleh ekonom (menurut Kamilus) yang datang dari Amerika. Sudah saya brief sebelumnya bahwa ia akan ditanya terkait soal likuiditas. Itu pula hal yang saya gali dulu saat meneliti KTL. Saya sudah kasih tahu bagaimana seharusnya ia jelaskan. Sial, karakter keras kepala Pak Kamilus sebagai orang Lamaholot terpancing saat merasa digurui si bule. Ia mendebat dan menolak masukan. Gagal deh.
Kini, mumpung ruang bagi NTT dalam program Kabar dari Seberang di Kompasiana masih tersisa, saya akan ceritakan lagi tentang Pak Kamilus dan organisasi hebatnya, serta beberapa perkembangan kecil.