Om-Tante tentu sudah tahu, jika saya mengulas film, isinya akan lebih banyak informasi-informasi tambahan di luar film. Jika film menyajikan rangkaian peristiwa pada batasan waktu tertentu, saya akan menarik lebih jauh ke latar belakang, ke sejarah yang mempengaruhi terjadinya peristiwa itu. Film-film yang saya tonton memang seringnya film sejarah dan drama biografi.
Sering saya sudah tahu peristiwanya. Jadi menonton film sekedar sebagai hiburan atau untuk melihat persepsi lain, yaitu sudut pandang sineas dalam menginterpretasikan peristiwa. Saya suka terpukau oleh kecerdasan sineas yang menampilkan sudut pandang tak lazim.
Tetapi kadang-kadang film juga membuat saya terkejut akan hadirnya fakta baru, hal yang tidak saya ketahui sebelumnya.
Jika menemukan yang demikian, saya akan lanjutkan dengan penelusuran pustaka. Dengan itu, film telah menjadi semacam gerbang pengetahuan, pintu masuk untuk mempelajari hal baru.
Contoh yang baru saja saya alami adalah film Exodus: God and King. Ini film tentang pembebasan bangsa Yahudi dari perbudakan Mesir. Sengaja saya tonton mengingat umat Kristiani sedang dalam masa pekan suci yang akan berpuncak pada perayaan Paskah hari Sabtu (Sabtu Halleluya) dan Minggu Paskah.
Paskah yang dirayakan umat Kristiani berakar dari tradisi Yahudi. Tentu saja sebuah penafsiran ulang. Umat Kristiani merayakan Paskah sebagai peristiwa kebangkitan Yesus Kristus yang dijuluki Anak Domba Allah.
Sementara Paskah orang Yahudi adalah peringatan pembebasan dari perbudakan Mesir, terutama terkait wabah terakhir yang dialami bangsa Mesir. Itu peristiwa ketika Allah menghukum orang Mesir dengan membunuh semua anak lelaki Mesir. Anak lelaki Yahudi bebas dari wabah kematian itu sebab mereka menyembelih korban kambing dan menorehkan darahnya pada pintu rumah.
Bukan soal Paskah yang menarik saya menuliskan contoh ini. Adalah adegan pada menit-menit awal yang bikin saya terkejut. Adegan Pendeta Mesir memimpin upacara penyembelihan unggas sebagai korban persembahan dan melihat hatinya sebagai media meramal.
Saya harus kaget, bukan memaksa-maksa kaget. Memang kaget benar. Soalnya, meramal dengan media hati hewan korban persembahan adalah budaya dari banyak etnis di Nusa Tenggara Timur. Bagaimana bisa orang Mesir juga tahu soal ini?
Dalam kebudayaan saya, Manggarai di Flores, meramal dengan media hati hewan korban (hewan yang disembelih untuk menghormati leluhur) hingga kini masih dipraktikkan.
Membaca "urat hati" disebut "toto urat dia" alias menunjukkan urat hati yang baik. Urat yang baik berarti kehidupan kita selama ini berkenan di hati leluhur dan tidak akan ada kesialan di hari-hari esok.