Di masa-masa awal menjadi petani, saya selalu gembira menyambut tibanya musim hujan. Hujan datang, ini musim menanam. Maka berpuisi lah saya. "Lihat hujan datang mencumbu /lalu tubuh kecil tumbuh seribu /Jagung, Kacang, dan Labu" (Senandung Cinta Petani) ... "Hei, laron-laron menari / menanti katak turut bernyanyi / Sudah tiba musimnya hujan / bergegas kita siapkan lahan" (Hujan Singgah di Timor) ..."Langit awal Desember kelabu / layaknya sang ibu / dengan tangis haru / oleh cinta syahdu / pada kehidupan baru" (Langit Senja Awal Desember).
Tentu saja saya tidak salah. Musim hujan berarti ketersediaan air, mengguyur bumi basah. Bertani jelas butuh air agar akar-akar tanaman terbantu meraih nutrisi dalam tanah, menumbuhkan tunas dan pucuk, meninggikan pokok tetumbuhan, menghijau-rimbunkan dedaunan. Siapa petani yang tidak gembira?
Rupanya saya tak sepenuhnya benar. Benar tetapi tidak total.
Pandangan saya mengandung bias persepsi petani pangan pokok musiman di Nusa Tenggara Timur, ketika hanya pada kelabu awan-awan sebagian besar kami mengantungkan harapan akan basah tanah-lahan. Untuk bertani pangan, seperti padi dan Jagung, datangnya hujan tentu saja menggembirakan. Hujan adalah sumber air murah yang cocok untuk tanaman pangan pokok. Pengairan mengunakan alat tambahan seperti pompa menuntut biaya produksi yang mungkin lebih besar dibandingkan nilai ekonomi komoditi yang dihasilkan.
Petani holtikultura memiliki cara pandang berbeda. Tentu saja, sebagaimana seluruh petani, mereka bersenandung riang menyambut musim hujan. Musim hujan menambah ketersediaan air tanah dan permukaan. Tetapi musim hujan juga membawa kesulitan-kesulitan tersendiri.
Beberapa bulan lalu saya berjumpa seorang petani sayur dari Pulau Semau --pulau kecil sejauh 30 menit berperahu motor ke arah Barat dari Kota Kupang-- yang mengeluhkan mahalnya waring (anyaman polyetilen sebagai kanopi tanaman). Ia membutuhkan waring agar bisa bertanam di musim hujan. Sebelumnya ia telah berulang kali mencoba bercocok tanam sayur di musim hujan tanpa waring dan selalu saja berakhir gigit gaji.
"Tanaman yang terkena hujan langsung akan layu dan mati," katanya. Ia tidak berani lagi mencoba tanpa waring. Sialnya, harga waring terlalu mahal untuknya.
Percakapan menyedihkan ini berlangsung ketika saya justru baru saja mulai menanam sayur. Ya, saya telah memutuskan goal 2018 untuk kebun saya, menjadikannya pertanian organic polyculture. Setelah setahun dengan tanaman papaya, saya mulai menumpangsarikan bumbu dapur dan sayuran.
Percakapan itu sebenarnya meruntuhkan semangat. Tetapi saya telah memutuskan untuk skeptis pada semua informasi yang meruntuhkan semangat. Saya coba dulu sendiri, demikian pikiran saya.
Maka setelah mempersiapkan 20-an bedeng berformat modifikasi hugeculture (bedeng saya gali; menumpuk ranting, dedaunan dan kotoran hewan, lalu dilapisi tanah bekas galian hingga membentuk gundukan, dan dilapisi mulsa), saya mulai mencoba menanam sayur sawi di enam bedeng terlebih dahulu. Saya memilih tidak menggunakan naungan waring atau plastik UV sebab akan membutuhkan biaya lumayan besar.
Tantangan pertama muncul: Ledakan hama. Yang paling banyak adalah kutu daun berwarna hitam (thrips), siput (bekicot dan keong mas) dan lalat buah. Lalat buah paling banyak menyerang pepaya, sementara siput dan kutu menyerang sayur sawi.