Adik ayah saya selau berpesan, 'pecing tombo' (tahu cara bicara) itu sama pentingnya dengan 'tombo pecing' (membicarakan pengetahuan kita). Dua hari lalu saya menemukan pembenaran atas nasihat penting itu. Ketiadaan kesimbangan antara 'pecing tombo' dan 'tombo pecing' bisa buat jengkel orang lain sekaligus memalukan diri sendiri.
Tiga orang turun dari mobil dan langsung masuk ke kebun saya. Saya melepas cangkul, membuka sarung tangan, mendekati mereka dan berusaha menyambut dengan keramahan terbaik yang bisa saya sodorkan di bawah terik siang yang melelahkan. Ketiganya tak menggubris, tetapi langsung berjalan semakin masuk ke dalam, memanggil staf kebun dan minta diambilkan sejumlah pepaya.
Ambil? Wow, siapa orang-orang ini?
"Maaf, Bapak-Ibu butuh berapa banyak? Untuk pelintas yang hanya untuk konsumsi, kami bisa kasih dengan minimal 10 kg per pembelian," kata saya.
"Oh petik saja. Nanti ada berapa pun kami ambil," Tamu termuda --dari tampangnya---bicara kepada staf saya sambil sedikit melirik saya. Mereka sudah kenal staf saya, tetapi baru ini bertemu saya -- kelak ternyata hanya membeli 4 kg. Huh!
Mungkin karena saya tampak kotor sebab sudah sejak pagi mencangkul dan menabur pupuk kandang pada bedeng yang sedang dibuat untuk holti sela di antara barisan pepaya. Saya berusaha menjauhkan diri dari kecenderungan men-stereotip ketiga orang ini sebagaimana lazim masyarakat menempelkan cap pada mereka.
Memang dari perawakannya, ketiganya berasal dari etnis yang kerap dipandang sinis. Mungkin bukan karena etnisnya mereka beradat demikian. Mungkin karena pekerjaan mereka yang memang umumnya berdagang sehingga jadi serba praktis dan cepat dalam unggah-ungguh pergaulan. Tak perlu tata krama basa-basi, mari langsung bicara jumlah barang dan uang. Mungkin karena sekurang-kurangnya 12 jam sehari jemari mereka menghitung lembaran uang sehingga menyangka orang lain pun menempatkan uang di atas sopan santun.
"Ambilkan yang kecil-kecil saja. Yang besar akan saya buatkan bibit," pesan saya pada staf, sebenarnya sekedar untuk menegaskan siapa tuan di sini.
"Oh, itu tidak bisa dibuat bibit. Nanti hasilnya jelek. Saya ahli pertanian lulusan anu --ia menyebut sebuah kampus pertanian ternama di Bogor. Saya mengajar di Fakultas pertanian universitas anu --menyebut sebuah kampus negeri di kota ini. California itu pepaya hibrida, tidak bisa dibuat anakan dari bijinya," kata si Ibu, perempuan di antara ketiga tamu aneh ini.
Ya ampun, Ibu ini. Dalam hati saya tersenyum. Dulu di sekolah saya yang terletak di samping kebon binatang di Bandung, ada candaan bahwa kami tidak percaya diri tanpa jaket himpunan jurusan. Ibu ini rupanya seperti kami di zaman masih sekolah dulu, hanya percaya diri dengan membawa-bawa nama sekolah dan jabatan.