Sejak dulu saya paling kuatir mendapat predikat double standard atau standar ganda, dan karena itu selalu berupaya menghindarinya. Meski demikian harus diakui nyatanya sulit untuk lepas 100% dari hal ini.
Standar ganda adalan penerapan norma, prinsip, dan penilaian yang diskriminatif terhadap situasi, individu, atau kelompok sosial, yaitu ketika ukuran-ukuran yang digunakan kepada suatu kelompok tidak berlaku kepada kelompok lainnya meski dalam kondisi serupa.
Banyak adab dunia menempatkan standard ganda sebagai prinsip dan perilaku yang bias dan tidak fair, dan karenanya termasuk dalam daftar perilaku negatif yang perlu dihindari.
"Quod licet Iovi, non licet bovi," apa yang boleh bagi Jupiter, tidak berlaku bagi Hera, atau juga "Aliis si licet, tibi non licet," yang mungkin boleh diterjemahkan sebagai "apa yang boleh bagi orang lain, tidak bagimu." Demikian ujar-ujaran Latin menyindir --kaum bebal menjadikannya pembenaran-- perilaku standar ganda.
Dalam keseharian hidup kita, mudah sekali menemukan praktik standard ganda. Mulai dari yang kecil seperti di lingkungan kantor, hingga problem besar kebangsaan. Pada Mei-September 2017 ini perusahaan sekelas Google harus berhadapan dengan pengadilan karena memberlakukan standar ganda dalam pengupahan dan pengembangan karir terhadap buruh perempuan. Buruh-buruh perempuan diupah lebih rendah dan diperlukan tidak adil dalam pengembangan karir dibandingkan rekan lelaki mereka meski memiliki kapasitas, tanggungjawab, dan beban kerja setara (1). Hal serupa dialami buruh perempuan Microsoft Corp dan Twitter Inc. (2). Jangan coba-coba mencari contoh kasus di Indonesia. Anda akan lelah sendiri merekapnya.
Pada kasus yang lebih besar, sulit mengabaikan bau tajam standar ganda dalam polemik nasional pada September kemarin. Orang-orang bereaksi terhadap bencana kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar, mengutuk tindakan militer dan pemerintah Myanmar. Tentu saja itu setepat-tepatnya posisi. Semua jenis kejahatan terhadap kemanusiaan harus dikutuk, sebaliknya sebesar-besarnya solidaritas perlu diberikan kepada para korbannya.
Tetapi coba perhatikan, orang-orang yang sama, yang berbusa-busa mulutnya meneriakkan solidaritas kepada etnis Rohingya adalah juga orang-orang yang sebaliknya membenarkan tindakan militer Indonesia terhadap jutaan korban bencana kemanusiaan pada masa awal orde baru. Kekuasaan Orde Baru Soeharto dengan kampanye ganyang komunisnya telah menyebabkan jutaan orang dibunuh, jutaan dipenjara tanpa peradilan fair, belasan juta anak-cucu didiskriminasi dan hidup dalam terror berkepanjangan.
Korban Peristiwa 1965 adalah semirip-miripnya etnis Rohingya. Para pimpinan PKI dituduh mendukung kudeta sebagian perwira menengah Angkatan Darat yang menewaskan para petingginya (terlepas dari benar atau tidaknya tuduhan Orde Baru itu), sebagaimana ARSA yang mengaku berjuang demi keadilan bagi rakyat Rohingya dituduh pemerintah Myasmar sebagai gerakan teroris. Sekali lagi serupa, jutaan Kader, simpatisan, dan anak-cucu PKI mengalami nasip mirip 300an ribu rakyat Rohingya, menjadi korban dari pertikaian itu. Sebagian besar korban itu tidak terlibat bahkan tidak tahu apa yang terjadi.
Saya tidak sedang menggugat benar-salahnya klaim sejarah atau posisi para pihak yang bertikai. Ketika ratusan hingga jutaan orang kehilangan kemanusiaannya oleh sebuah konflik, kemanusiaan itulah yang harus dibela. Mahaguru demokrasi dan kemanusiaan, Gus Dur juga bilang begitu. Tetapi lihatlah, kita telah menempatkan orang-orang Rohingya sebagai "Iovi", dan korban 1965 sebagai "bovi." Telanjang, tanpa selembar benang pun, tanpa rasa malu, kita pertontonkan lebat jembut standar ganda kita.
Well, agar Anda semakin kebakaran jenggot, saya cuma mau bilang begini. Jika berpikir dan bertindak adil adalah prinsip dan nilai dasar ajaran agama, mungkin boleh dikatakan, berperilaku standar ganda adalah bentuk lain kekafiran. Anda mau protes?