Lihat ke Halaman Asli

George

TERVERIFIKASI

https://omgege.com/

Bullying, Debat III Pilgub DKI, dan 'Pasung Jiwa' Okky Madasari

Diperbarui: 1 Juni 2020   10:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KOMPAS.com / Wijaya Kusuma

Pendukung Pak Agus dan Pak Anis tentu sonde senang jika beta katakan overall debat III Pemilukada DKI dimenangkan Pak Ahok. Demikian pula pendukung Pak Ahok akan cemberut membaca bahwa meski menang, ulu hati Pak Ahok terhujam hook telak Pak Anis.

Kritikan Pak Ahok terhadap program landed house murah tanpa uang muka berhasil membangun kesan program paslon nomor 3 itu cuma janji utopis, baik karena sonde feasible dalam kalkulasi pendanaan (sumber dana dan kemampuan membayar) pun karena benturan dengan peraturan dan kebijakan otoritas yang lebih tinggi (pemeritah pusat dan undang-undang terkait). Mungkin saja jika Pak Sandi malam itu menjelaskan secara konkrit dan detail contoh dari Negara lain, keadaan bisa berbalik. Sayang, Pak Sandi hanya bilang banyak di Negara lain  mempraktikkan hal itu.

Demikian pula umpat kasar Pak Ahok pada janji 1 miliar per RW dari Pasangan Agus-Sylvi sulit dibantah kebenarannya. Pembelaan Pak Agus bahwa Pak Ahok-Jarot hanya curiga kepada rakyat adalah semata-mata serangan politis sebab di banyak daerah program  serupa memang bermasalah pertanggungjawabannya. Pak Agus sendiri sonde menjabarkan secara jelas sumber dana, mekanisme penyaluran, tujuan pemanfaatan, penerima dan bagaimana pertanggungjawaban dana ini. Tampak kalau semua program Agus-Sylvi dimuarakan ke dana 1 M per RW ini. Jika hendak menyamakan dengan Dana Desa, Pak Agus harus mengubah ketatanegaraan Indonesia, menjadikan RW sebagai pemerintahan terkecil. Itu bukan kapasitas dia sebagai gubernur.

Tetapi di tengah banyaknya skor yang ditembakkan paslon 2 ke lawan-lawannya, satu hook telak dilayangkan Pak Anis kepada Pak Ahok. Soal bullyng di sekolah. Sebelum beta menjelaskan ini lebih jauh, kita bicara dulu soal hubungan debat III itu dengan novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari.

Bullying dalam Pasung Jiwa  Madasari (Juga Pulang  Chudori)

Judul lengkapnya adalah Pasung Jiwa: apa itu kebebasan? Okky Madasari penulisnya, perempuan keren yang juga menghasilkan Maryam dan 86. Maryam meraih Khatulistiwa Literary Award 2012 sementara 86 masuk nominasi 5 besar penghargaan serupa pada 2011.

Seting Pasung Jiwa adalah penindasan Orde Baru dan perlawanan terhadapnya. Ada soal pembunuhan Marsinah; soal tentara mem-back-up penindasan buruh di pabrik; soal tentara tukang perkosa; soal kerja sama polisi dan FPI; dan soal penggulingan Soeharto.  Seting kosmos yang lebih kecil adalah orang tua yang memaksa ideal-idealnya pada anak dan perilaku bullying di sekolah. Sementara temanya adalah perlawanan individu terhadap kontrol sosial yang mengekang hakikat diri.

Di dalam Pasung Jiwa, si tokoh utama, Sasana, sejak kecil dipaksa tumbuh sesuai ideal orang tua. Ia harus pandai main piano dan cerdas dalam mata pelajaran. Untuk mewujudkan itu, kedua orang tua (ibu dokter, ayah pengacara) menyekolahkannya di sekolah elit.

Rupanya sonde ada hubungan bullying dengan latar belakang ekonomi keluarga. Anak-anak kaya itu, kakak kelas Sasana, gemar menganiaya adik-adik kelas, memaksa mereka menyerahkan uang saku setiap hari.

Suatu ketika Sasana pulang dalam kondisi babak belur. Ayah-ibu marah sebab menduga ia berkelahi di sekolah. Sasana takut membantah. Hari-hari selanjutnya penganiayaan terus terjadi tanpa Sasana berani melaporkan kepada ayah-ibu.

Ayah-ibu akhirnya tahu juga bahwa Sasana bukan berkelahi tetapi dianiaya. Mereka melaporkan kepada pihak sekolah tetapi sekolah menganggapnya sekedar keisengan bocah-bocah, menegur para pelaku tanpa tindakan serius. Penganiayaan terus terjadi hingga Sasana diangkut ke rumah sakit. Ketika orang tua mendesak pihak sekolah, justru Sasana yang disarankan pindah sekolah sebab para pelaku bullying adalah anak pejabat, jendral, dan pengusaha besar. Hal terakhir ini mirip pengalaman Bimo dan Alam di dalam Pulang karya Leila S. Chudori.

Bullying  dan Putra Beta

Putra beta pernah mengalami hal serupa. Sejak kecil, beta dan istri selalu menanamkan padanya tentang betapa tidak elok melakukan kekerasan terhadap orang lain itu atau bahkan sekedar meledek sekalipun. Ia menjadi anak lelaki yang respek terhadap orang lain dan sangat apresiatif. Anda bayangkan saja, ketika giliran beta masak dan hasilnya tak enak, ia akan bilang, “Papa, masakanmu ini rasanya unik. Saya belum terbiasa. Bisa saya makan sedikit saja?” Ia tidak akan gunakan kata-kata negatif. Itu waktu ia belum tujuh tahun, lho.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline