Kamis (19/01) film “Istirahatlah Kata-Kata” pertama tayang kepada publik di bioskop. Kupang beruntung. Meski kota kecil, ia termasuk segelintir kota yang mendapat giliran pertama pemutaran film ini.
Mendengar kabar film yang meraih selusin nominasi dan penghargaan pada festival nasional dan internasional itu akan diputar di Kupang serasa seperti kepsek mendadak umumkan liburan seminggu di kala SD dahulu. Kegembiraan yang tak disangka-sangka. Tetapi dag dig dug jantung ini, cemas jika cuma segelintir yang datang menonton. Bagaimana jika penonton terbilang jari membuat pengelola bioskop memandang rendah selera film masyarakat Kota Kupang dan buntutnya kelak jika ada film 'nalar' lagi, Kupang dicoret dari target? Sungguh tak asyik jika bioskop di Kupang hanya akan menyuguhkan film bunuh-bunuhan, sundal bolong dan kerabat, atau cinta ngak-ngik-ngok.
Agar penonton berduyun-duyun seperti laron mendekati lampu, beta mengambil inisiatif mengadakan sayembara membuat puisi berganjar hadiah tiket nonton bagi lima orang pemenang. Harapannya dengan itu akan lebih banyak orang mendapat informasi dan berbondong-bondong datang menonton. Maka ketika tenggat lomba tercapai dan hanya satu puisi yang masuk, bertambah-tambahlah kecemasan beta. Syukurlah, pada pemutaran ketiga di hari pertama, pukul 19.00, penonton cukup banyak, hanya kursi barisan paling depan yang masih kosong
Beta kenal sebagian besar yang datang menonton. Umumnya kalangan aktivis, pengajar universitas, sastrawan dan pekerja seni. Ah, orang-orang ini hanya ingin menonton diri mereka tercermin dalam sosok Wiji Tukul. Beruntung, sudah duduk di dalam bioskop, wajah-wajah asing, separuh jumlah penonton banyaknya. Ditaksir dari tampang yang masih segar-segar sepertinya sebagian adalah mahasiswa (dan bukan aktivis dan penggiat seni), bahkan mungkin pelajar SMU. Puji segala dewa, kota ini mulai mengerem laju produksi alay.
Film diputar, beta coba menikmati. Sialnya, beberapa menit sebelum berakhir, kecemasan lain terbit bersama pertanyaan-pertanyaan. Apakah orang-orang suka? Bagaimana kesan mereka? Apakah film ini memiliki daya menggerakkan, mampu menginspirasi penonton untuk berbuat sesuatu bagi keadilan sosial dan demokrasi? Aneh juga, untuk apa beta kepo dengan tanggapan orang lain, ya?
Begitu film usai, beta buru-buru keluar untuk mencegat beberapa orang dari sejumlah latar belakang. Beta ingin tahu tanggapan mereka. Ternyata berwarna-warni responsnya.
Seniman mengharapkan lebih banyak lagi suguhan puisi, bukan sekedar latar-belakang suara-suara tetapi juga visual Wiji di atas panggung, menembakkan kata-kata dengan mulut, mimik, dan tubuh. Puisi yang muncul pun hanya sedikit, cuma lima biji jika beta tak keliru menyimak. Padahal, selama masa pelarian di Pontianak, Thukul beranak 25 karya. Memang ada puisi yang diwujudkan di dalam adegan. Misalnya "Baju Loak Sobek Pundaknya," dihadirkan dalam wujud Thukul membeli celana bekas, mencuci dengan air panas, dan kelak menyerahkan pada Mbak Pon di kamar hotel. Tetapi ini menghapus nikmat puisi, sebab imaginasi visual dari sebuah puisi adalah domain istimewa penikmat, bukan dihidangkan dalam bentuk jadi.
Kalangan aktivis, yang terpaut jauh usia dari Thukul dan baru masuk gelanggang perjuangan ketika ruang demokrasi formal menganga, merasa kurang afdol tanpa tayangan Wiji Thukul berpuisi di tengah unjuk rasa atau di sela-sela rapat bersama buruh Sritex, persiapan pemogokan besar yang legendaris itu. Mereka berharap ada beberapa menit untuk tayangan barisan massa aksi, bendera merah berkibar-kibar, orasi-orasi mengutuk penindasan, dan jika bisa ada sedikit adegan bentrokan dengan aparat TNI (Di zaman Wiji bentroknya dengan tentara, coiii). Mereka bahkan merasa hatinya lebih bergolak haru oleh dialog-dialog antara Tjokro, Semaun, Alimin dan Sneevliet, juga oleh Lagu Internationale --mars kaum pergerakan sejak akhir 1800-an— di dalam film “Guru Bangsa: Tjokroaminoto” dibandingkan siulan Darah Juang Bu Pon di telepon.
Orang-orang awam (bukan aktivis dan bukan pekerja seni), seperti Ayu, perempuan mahasiswa (maaf, beta tidak suka gunakan kata-kata berjenis kelamin, seperti mahasiwa/i, pemuda/i, dll) menghendaki ada informasi lebih banyak tentang mengapa Wiji Thukul begitu istimewa di zamannya. Seberapa besar Thukul-effect bagi perlawanan terhadap Orde Baru? Seberapa mengancam sosok Wiji Thukul di mata bos-bos para serdadu? Tampaknya mereka tidak mendapatkannya di dalam film ini.
Ada juga yang bisa mengapresiasi pilihan Yosep Anggi Noen menampilkan masa pelarian Wiji Thukul. Sudut yang kreatif, kata mereka. Namun mereka pun memberikan catatan tentang kurang nendangnya ekspresi dan suasana kepanikan, ketakutan, kesepian, keterasingan dan teror yang dirasakan Wiji Thukul. “Masa sih reaksi Thukul seperti datar-datar saja waktu dengar kawan-kawannya di tangkap?” tanya retoris seorang dosen muda.
Beta sendiri merasa ada yang kurang pas dari film ini. Tetapi terlebih dahulu beta harus sampaikan apresiasi kepada produser, sutradara, penulis naskah, pemain dan para kru, serta tentu saja pengelola bioskop yang sudah menghadirkan film ini kepada publik. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, para aktivis yang telah berjasa menghidangkan ruang-ruang demokrasi yang kini kita nikmati bisa juga difilmkan sebagai movie. Biasanya paling mungkin berupa dokumenter. Tidak pernah disangka pula kelak film ini akan diputarkan di bioskop-bioskop komersil.