Lihat ke Halaman Asli

George

TERVERIFIKASI

https://omgege.com/

Bu Mega Yakin Tak Lupa "Jasmerah"?

Diperbarui: 4 April 2017   18:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: KOMPAS IMAGES / KRISTIANTO PURNOMO

Bu Megawati kembali tampil ke publik. Sebagai Singa Podium, ia berorasi di dalam peringatan harlah PDIP ke-44, 10/01/2017 (PDIP bukannya baru lahir sejak 1999, ya?). Senang rasanya melihat ketua partai pemenang pemilu bicara tegas tentang posisi partainya terhadap sejumlah problem aktual bangsa.

Yang saya tangkap, setidaknya ada dua persoalan kebangsaan utama yang disorot Bu Mega. Pertama tentang menguatnya kecenderungan politik identitas, menguatnya sayap politik kaum fundamentalis agama yang membahayakan persatuan bangsa. Kedua tentang upaya-upaya merongrong pemerintahan Jokowi-Jusuf Kala.

Menonton dan membaca pidato Bu Mega, reaksi hati saya berubah-ubah bagai kerlip lampu Natal, seperti jejak permen nano-nano pada syaraf lidah. Kadang hati girang bertepuk tangan, kadang dahi berkerut, kadang bibir mencibir. Hati saya, lho. Bukan saya.

Saya akan menceritakan reaksi hati mulai dari yang gembira dulu.

Hati girang bukan main ketika Bu Mega bicara tentang kepribadian bangsa. Bu Mega mengingatkan kita kata-kata Bung Karno. Intinya: apapun agamamu, ingatlah, kau tetap orang Indonesia. Sebagai orang Indonesia, berbeda-beda agamamu, hormatilah perbedaan itu agar dengan demikian kita tetap utuh sebagai bangsa.

Hati saya bertambah-tambah riangnya, sampai melonjak kegirangan segala ketika Bu Mega mengatakan dengan lantang, “Jadilah Banteng Sejati di dalam membela keberagaman dan kebhinekaan. Berdirilah di garda terdepan, menjadi tameng yang kokoh untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hampir saja hati saya orgasme saat Bu Mega mengatakan, “Kebhinekaan harus disertai dengan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat!”

Setuju, Bu. Tanpa kesejahteraan bagi seluruh, tanpa keadilan sosial, tidak akan ada perdamaian sejati. Tanpa kesejahteraan dan keadilan, orang-orang akan saling sikut mencari selamat sendiri. Orang-orang akan saling tuding sekaligus mencari sekutu masing-masing. Demikianlah lahir politik berbasis identitas agama dan suku. Hal ini pula yang saya angkat dalam metafora pada dongeng “Hantu Koplak Undercover.”

Tetapi suasana hati gagal mencapai puncak riang ketika tiba-tiba muncul pernyataan Kita tidak perlu reaksioner, tetapi sudah saatnya silent majority bersuara dan menggalang kekuatan bersama.”

Saya setuju, silent majority harus diberanikan bersuara. Jangan bungkam sebab negeri ini milik semua. Tetapi kok terasa ganjil ya, ketika yang mengatakan ini adalah elit politik penguasa, PDIP yang kadernya sedang menjabat Presiden RI.

Alih-alih silent majority, para elit PDIP adalah powerful minority. Para elit di dalam barisan powerful minority ini berdiri di seberang, berhadap-hadapan dengan silent majority, rakyat. Rakyat yang terancam daya dukung alamnya bagi sumber penghidupan karena eksploitasi kawasan kars oleh pabrik semen. Rakyat tani yang tergusur lahannya dirampas perusahaan-perusahaan, juga demi pembangunan infrastruktur sebagai agenda penyelamatan ekonomi. Buruh yang kenaikan upahnya tidak mampu mengejar inflasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline