Lihat ke Halaman Asli

Satu per Satu, Gedung-gedung Tua Itu Dirubuhkan

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya yakin, semua nasionalis di negeri ini membenci sifat kolonialisme bangsa-bangsa Eropa di masa lalu. Tapi perlukah kita juga mengutuk dan menghancurkan peradabannya? Atau, sepadankah nilai ekonomi yang diperoleh segelintir toke kaya dengan mendirikan ruko atau mall dibanding nilai kelestarian gedung-gedung bersejarah peninggalan eks penjajah dalam sebuah kota?

Pukul 21.00 WIB, saya menerima SMS dosen saya, Dr Phil Ichwan Azhari, MS. Ia bermaksud memberitahu bahwa gedung-gedung bekas kantor developer Jerman, DSM, di samping Universitas Nommensen Medan, telah rubuh. Hanya tersisa satu bangunan lagi, yang diperkirakan akan rubuh juga keesokan harinya. Satu unit buldoser berdiri membeku di sampingnya, persis di atas puing-puing bangunan yang sudah runtuh. Benda itu hanya butuh beberapa menit lagi untuk menyelesaikan pekerjaannya. Penghancuran ini menyusul serial perubuhan dua bangunan villa kembar yang sangat cantik di Jalan Diponegoro, yang kala itu hanya diprotes oleh belasan aktivis dan diekspos oleh media-media massa nasional, terutama Harian Kompas.

Sebuah catatan UNESCO menyebutkan, destinasi gedung bersejarah menempati posisi pertama dalam pertumbuhan industri pariwisata dunia. Ratusan miliar dolar AS dibelanjakan orang setiap hari untuk biaya perjalanan ke tempat-tempat yang mengandung nilai historis di atas bumi ini. Untuk tujuan berbagi dolar itu, masing-masing negara mulai sadar untuk menggali kembali wajah masa lalunya. Sebab, dari sekian banyak produk wisata yang dikenal dalam industri tanpa asap ini, produk sejarah adalah salah satu "komoditas" yang tidak bisa ditiru oleh siapapun. Ia melekat bersama waktu, dan waktu tidak bisa ditipu oleh teknologi apapun. Sebagian orang bisa meniru batik, angklung, reog, dan seterusnya, tapi tidak ada yang bisa meniru sejarah Sumatra Timur, sejarah keruntuhan Soviet, sejarah keruntuhan Yugoslavia, patung tua osa-osa di Nias, atau gemuruh kemerdekaan yang beberapa bulan terlambat diumumkan di Lapangan Merdeka Medan. Inilah yang membuat setiap negara punya hak untuk dikunjungi turis.

Penghancuran gedung-gedung tua bersejarah di Kota Medan adalah situasi yang terparah di Indonesia. Ketika Semarang, Solo, Yogya dan Jakarta mulai menyayangi situs-situs tua kotanya, atau ketika Singapura bermimpi untuk memiliki sejarah heroik setua sejarah negara kita, para pebisnis di Kota Medan justru sedang membuldoseri gedung-gedung tua nan indah dan "berjiwa" untuk membangun kotak-kotak beton yang lebih tinggi, lebih "moderen", lebih fungsional, dan lebih menguntungkan. Sesak memikirkannya, tapi entah bagaimana cara melupakannya.

Sumatra Timur adalah jejak kapitalisme yang paling kentara di Indonesia. Modal pernah mengalir di kawasan ini melebihi kinerja terbaik dari Menko Ekuin periode apapun juga setelah Indonesia merdeka. Mereka merancang pembangunan kota yang kwalitasnya disejajarkan dengan Paris. Bila London hanya dibangun oleh salah satu dari bangsa Eropa, maka Kota Medan dirancang secara bersama-sama oleh masyarakat investor Eropa di bawah koordinasi Pemerintah Kolonial yang sah, Belanda.

Sepulang dari pelariannya di Tiongkok, Filipina, dan Singapura, Tan Malaka terkejut manakala menyaksikan Kota Medan yang disinggahinya. Meskipun ia memusuhi kolonialisme dan mengabdikan seluruh sisa umurnya untuk melawan penjajahan, tapi Tan Malaka sangat jujur ketika menggambarkan Kota Medan buatan Eropa sebagai kota terindah di Asia. Tata ruangnya sangat terhitung, dan konstruksi bangunan-bangunannya kokoh menggambarkan kemakmuran industri perkebunan yang melaju pesat.

Masa keemasan itu belum pernah terulang lagi setelah kita memiliki kota ini, dan itu sebenarnya memalukan untuk diungkapkan. Dengan penghancuran gedung-gedung tua peninggalan golden age tersebut, kita telah merugi dua kali. Kerugian pertama, kita pernah dijajah oleh orang-orang yang mendirikan bangunan-bangunan itu. Kerugian kedua, kita pun kehilangan bangunan-bangunan yang antik itu, yang telah mereka dirikan dari modal penjajahan di tanah air kita sendiri.

Kapitalisme

Hingga hari ini, kapitalisme masih menjadi corak perekonomian di Kota Medan. Modal dan investasi telah mengatur arah pembangunan, sehingga kebijakan publik menjadi sangat liar. Keuntungan dalam hitungan cash hampir menjadi satu-satunya pertimbangan dalam penggunaan tata ruang dan izin bangunan. Kawasan inti kota yang padat dan menyimpan banyak bangunan bersejarah, telah mengalami tekanan yang sangat kuat dari hari ke hari. Oligarki yang mempertemukan pengusaha dan kalangan eksekutif di pemerintahan akhirnya menguasai aset-aset dan ruang-ruang strategis di pusat kota. Hanya yang punya modal besar yang sanggup memilikinya. Dan mereka tidak tertarik dengan urusan gedung tua yang berlumut dan konon berhantu.

Kapitalisme Eropa dan kapitalisme Kota Medan sekarang punya sifat yang sama, kecuali pada satu hal: selera. Meskipun orang Eropa menarik keuntungan sebesar-besarnya dari Sumatra Timur, tapi mereka punya latar belakang peradaban yang tinggi menyangkut gaya hidup dan standar lingkungan. Mereka memperlihatkan seleranya dengan sebuah kebanggaan. Sebuah kota yang bermartabat. Sedang para kapitalis kita hanya berpikir sesempit lingkaran pagar rumahnya sendiri.

Sebelum gedung-gedung berikutnya rubuh, sebelum pemimpin yang kuat dan peduli terhadap sejarah kota ini lahir dari demokrasi, dan sebelum semuanya terlambat dan tak bisa diulangi, saya sangat berharap munculnya solidaritas nasional untuk kelestarian bangunan tua bersejarah di Kota Medan selaku representasi Sumatra Timur. Kawasan ini cukup unik dalam posisi sejarah sosial dan ekonomi Indonesia, oleh karena itu ia menjadi tanggung jawab kita bersama. Kota ini juga bagaikan mercu suar yang berhadapan langsung dengan pintu-pintu Asia daratan. Saya kira, ia juga menjadi pertaruhan martabat Indonesia di mata ASEAN.

Oleh karena itu, ayo selamatkan situs raksasa Sumatra Timur!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline