Lihat ke Halaman Asli

Tiknan Tasmaun

Praktisi herbal sekaligus blogger

Seksologi dalam Falsafah Punokawan

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dalam dunia pewayangan Jawa ada yang dinamakan punokawan. Punokawan terdiri dari empat orang. Ki Semar Bodronoyo dan anak-anaknya. Mereka adalah Petruk Kantong Bolong, Gareng dan Bagong.

Dalam pertunjukan wayang purwo alias wayang kulit maka keluarnya puno kawan disebut ‘wayahing goro – goro’. Maksudnya, puno kawan akan keluar setelah adanya ‘goro-goro’ yang disebut oleh ki dalang sebagai zamannya gonjang ganjing dan seterusnya. Sesudah hilangnya zaman goro-goro tersebut maka muncullah sang punokawan.

Dari ‘ngelmu kirotoboso’ yaitu ilmu ‘otak-atik-matuk’-nya orang Jawa maka dari nama-nama punokawan tersebut bisa diartikan dalam berbagai macam. Salah satunya adalah merupakan falsafah seksologi yang dalam khasanah Jawa disebut ‘ajimak-saresmi’. Berikut pemaparannya.

Petruk kalau ‘dikirotoboso’-kan berarti ‘ngempit….ruk’. Maksudnya perempuan menutupi atau menjunjung tinggi ‘mahkota kewanitaannya’. Tidak bakalan di berikan kepada sesiapa selain kepada suaminya. Apalagi kepada ‘bajing loncat’, tidak akan diberi. Wong barang ‘wadi’ (rahasia) namun ‘edi-peni’ kok( berharga ) ya di ‘kempit’, dijaga. Makanya dalam bahasa jawa istri dipanggil dengan sebutan ‘garwo’ bukan hanya bermakna ’sigar tur dowo’ (terbelah dan memanjang) namun lebih berarti ’sigaraning nyowo’ yang artinya bagian dari nyawa suami.

Nah kalau sudah bersuami maka kemudian melakukan ‘ritual ajimak saresmi’ atau dalam bahasa kerennya itu ML, making love alias bersetubuh. Karena kenikmatan bersetubuh itu kemudian timbul ‘erangan’…reng…reng…jadilah disimbolkan tokoh “Gareng”.

Ketika terjadi ritual… reng…reng…ajimak-saresmi atau ber-ml-ria itu terjadi namanya ‘ngobahake bokong’ jadilah nama “Bagong” – ngobahake bokong atau artinya menggoyang pinggul supaya timbul kenikmatan.

Ketika suami istri sudah sampai pada puncaknya dalam mengarungi bahtera permainan cinta itu kemudian keduanya merasa puas atau ‘marem’ dan ‘mesem’ (tersenyum puas) dan timbullah perlambang “Semar”.

Itu adalah sebagian dari penafsiran tokoh punokawan dipandang dari sudut ‘kirotoboso’ nama-namanya. Tentu masih ada lagi penguraian lain lagi dari segi perilaku watak masing-masing. Juga penafsiran berdasarkan ‘falsafah kejawan’ dalam pengertian-pengertian yang lain lagi.

Salam, Tiknan Tasmaun

Wahyu Kamulyan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline