"Ketenangan bukanlah kebebasan dari badai, tapi damai di tengah badai." -Mila Wulandari
Belum ada sehari saya mengenal Mila Wulandari. Namun, rasanya banyak sekali inspirasi yang saya dapat. Berawal dari ketertarikan saya terhadap produk lokal tradisional, saya pun akhirnya berjodoh untuk bisa bertemu dan mendapat kesempatan mendengar cerita tentang Social Enterprise yang dijalani Mila Wulandari penggagas produk handmade dengan brand Morisdiak.
Dari 34 Provinsi produk UKM dan UMKM di Indonesia memiliki potensi. Hal itu tak lepas dari masing-masing daerah yang selalu memiliki produk unggulan. Di era digital dan teknologi yang semakin berkembang pesat pemasaran produk UMKM dengan sangat mudah di lakukan melalui smartphone dengan berbagai filtur unggulan. Apa lagi jika target market yang dituju adalah generasi milenial, memang lebih memilih belanja online karena alasan kemudahan, simple dan banyak pilihan harga.
Mila Wulandari salah satu pelaku UMKM yang telah merintis Morisdiak sejak 2014 ini, juga memanfaatkan pemasaran online melalui website dan media sosial. Produk tenun craft Morisdiak ini membuat berbagai macam desain tas dan accessories dari berbagai macam motif tenun yang berasal dari NTT (Nusa Tenggara Timur).
Mila Wulandari sebelumnya bekerja sebagai project official education dimana saat itu ia bertugas untuk mendampingi anak-anak, mengadakan training untuk guru, orang tua, dan komunitas-komunitas sekolah. Pekerjaan tersebutlah yang mengantarkan Mila untuk terjun dan masuk ke dalam masyarakat di pedalaman.
Ia pun sempat menjadi supervisor untuk PSKK (Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan) UGM. Saat itu pun Mila perempuan dari Cilacap yang menetap di Yogyakarta dan telah memiliki dua putri ini, kembali ditugaskan di NTT pada beberapa kecamatan sehingga Mila pun semakin mengenal daerah tempat ia ditugaskan.
Terinspirasi dari perjalanannya saat bertugas dalam sebuah lembaga kemanusiaan yang berfokus pada isu anak dan pendidikan di NTT. Mila banyak melakukan perjalanan ke wilayah-wilayah yang lebih tersembunyi. Selama tinggal dan melakukan perjalanan tersebut, Mila berinteraksi dengan masyarakat dan mengenal hasil budaya mereka yaitu tenun.
Kenapa Mila terpanggil dan fokus keluar kerja untuk berwirausaha di bidang tenun craft? jawabannya adalah ingin melestarikan produk tradisi budaya NTT. Niat Mila untuk mengembangkan sebuah usaha rumahan yang sesuai dengan minat dan ketertarikannya dalam craft dan desain kemudian ia realisaikan.
Mila mulai mempelajari craft secara otodidak sejak awal 2012 dengan membuat berbagai project sulaman, patchwork hingga bermain dengan tenun. Pada April 2014 Mila memutuskan untuk masuk ke pasar craft dengan label Morisdiak untuk menaungi produknya yang mengombinasikan antara sulaman, tenun NTT dan kain-kain lokal lainnya.
Arti dari nama Morisdiak sendiri berasal dari bahasa Tetun-NTT, moris berarti hidup dan diak berarti baik atau indah. Ia memahaminya sebagai suatu filosofi timur mengenai sebuah tatanan hidup yang harmoni, baik, indah, dan sejahtera.
Sebagai logo Morisdiak, awalnya Mila mengadaptasi sebuah motif tenun ikat yang berasal dari Sikka Flores, yang diberi nama jarang atabiang. Motif ini ditemukan pada sarung perempuan yang biasanya dikenakan pada saat kedukaan. Grafis yang menunjukkan manusia menunggang kuda ini sejatinya menggambarkan sebuah perjalanan manusia ke alam baka. Ia kemudian menyematkan warna merah yang menjadi latar untuk menggambarkan semangat dan keberanian untuk kembali hidup setelah 'mati suri'. Pada motif ini, yang dimaknai ulang sebagai perjalanan hidup manusia setelah sebuah fase 'mati suri' untuk kembali berkarya mewujudkan tatanan hidup yang baik, harmonis, dan sejahtera.