Lihat ke Halaman Asli

Tikha Novita Sari

Tutor Bimbel, Guru Privat, Freelance Writer

Tenun yang Bercerita Tentang Upaya Pelestarian Budaya

Diperbarui: 20 Desember 2018   12:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mila Wulandari founder Morisdiak. Doc: Mila Wulandari

"Ketenangan bukanlah kebebasan dari badai, tapi damai di tengah badai." -Mila Wulandari

Belum ada sehari saya mengenal Mila Wulandari. Namun, rasanya banyak sekali inspirasi yang saya dapat. Berawal dari ketertarikan saya terhadap produk lokal tradisional, saya pun akhirnya berjodoh untuk bisa bertemu dan mendapat kesempatan mendengar cerita tentang Social Enterprise yang dijalani Mila Wulandari penggagas produk handmade dengan brand Morisdiak.

Dari 34 Provinsi produk UKM dan UMKM di Indonesia memiliki potensi. Hal itu tak lepas dari masing-masing daerah yang selalu memiliki produk unggulan. Di era digital dan teknologi yang semakin berkembang pesat pemasaran produk UMKM dengan sangat mudah di lakukan melalui smartphone dengan berbagai filtur unggulan. Apa lagi jika target market yang dituju adalah generasi milenial, memang lebih memilih belanja online karena alasan kemudahan, simple dan banyak pilihan harga.

Beberapa produk slingbag dan totebag Morisdiak. Dok: Mila Wulandari

Mila Wulandari salah satu pelaku UMKM yang telah merintis Morisdiak sejak 2014 ini, juga memanfaatkan pemasaran online melalui website dan media sosial. Produk tenun craft Morisdiak ini membuat berbagai macam desain tas dan accessories dari berbagai macam motif tenun yang berasal dari NTT (Nusa Tenggara Timur). 

Proses desain dan jahit oleh pekerja yang melibatkan perempuan di lingkungan sekitar. Dok: Mila Wulandari

Mila Wulandari sebelumnya bekerja sebagai project official education dimana saat itu ia bertugas untuk mendampingi anak-anak, mengadakan training untuk guru, orang tua, dan komunitas-komunitas sekolah. Pekerjaan tersebutlah yang mengantarkan Mila untuk terjun dan masuk ke dalam masyarakat di pedalaman. 

Ia pun sempat menjadi supervisor untuk PSKK (Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan) UGM. Saat itu pun Mila perempuan dari Cilacap yang menetap di Yogyakarta dan telah memiliki dua putri ini, kembali ditugaskan di NTT pada beberapa kecamatan sehingga Mila pun semakin mengenal daerah tempat ia ditugaskan.

Mila Wulandari saat berkunjung ke Fatumnasi, Timor Tengah Selatan. Dok: Mila Wulandari

Terinspirasi dari perjalanannya saat bertugas dalam sebuah lembaga kemanusiaan yang berfokus pada isu anak dan pendidikan di NTT. Mila banyak melakukan perjalanan ke wilayah-wilayah yang lebih tersembunyi. Selama tinggal dan melakukan perjalanan tersebut, Mila berinteraksi dengan masyarakat dan mengenal hasil budaya mereka yaitu tenun.

Totebag dengan tema khusus, yaitu 'Growing from Whiting'. Terbuat dari tali kulit asli, kanvas, dan handembroidery pada tekstil NTT handwoven. Dok: Morisdiak

Kenapa Mila terpanggil dan fokus keluar kerja untuk berwirausaha di bidang tenun craft? jawabannya adalah ingin melestarikan produk tradisi budaya NTT. Niat Mila untuk mengembangkan sebuah usaha rumahan yang sesuai dengan minat dan ketertarikannya dalam craft dan desain kemudian ia realisaikan.

Mila mulai mempelajari craft secara otodidak sejak awal 2012 dengan membuat berbagai project sulaman, patchwork hingga bermain dengan tenun. Pada April 2014 Mila memutuskan untuk masuk ke pasar craft dengan label Morisdiak untuk menaungi produknya yang mengombinasikan antara sulaman, tenun NTT dan kain-kain lokal lainnya.

Beberapa mahasiswa yang datang mengikuti workshop di Morisdiak untuk belajar teknik craft. Dok: Morisdiak

Arti dari nama Morisdiak sendiri berasal dari bahasa Tetun-NTT, moris berarti hidup dan diak berarti baik atau indah. Ia memahaminya sebagai suatu filosofi timur mengenai sebuah tatanan hidup yang harmoni, baik, indah, dan sejahtera.

Waistbag terbuat dari tenun Jepara, Jawa Tengah. Dok: Morisdiak

Sebagai logo Morisdiak, awalnya Mila mengadaptasi sebuah motif tenun ikat yang berasal dari Sikka Flores, yang diberi nama jarang atabiang. Motif ini ditemukan pada sarung perempuan yang biasanya dikenakan pada saat kedukaan. Grafis yang menunjukkan manusia menunggang kuda ini sejatinya menggambarkan sebuah perjalanan manusia ke alam baka. Ia kemudian menyematkan warna merah yang menjadi latar untuk menggambarkan semangat dan keberanian untuk kembali hidup setelah 'mati suri'. Pada motif ini, yang dimaknai ulang sebagai perjalanan hidup manusia setelah sebuah fase 'mati suri' untuk kembali berkarya mewujudkan tatanan hidup yang baik, harmonis, dan sejahtera.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline