Ketika aku merasa dunia benar-benar ramai dan bersahabat, itu sungguh di luar dugaan. Dalam artian, aku disekeliling keramaian namun jiwa ini masih merasa sendiri. Entah aku juga janggal soal hal ini. Hampir saja menyerah. Tapi, ingatan kembali mengajak diri ini yang pada akhirnya tergugah untuk bergerak melangkah perlahan membuka hal yang sudah ditutup dengan kisah pilu.
Semesta meyakinkan bahwa akan ada saat yang benar-benar bisa mengerti akan ribuan hal yang penuh tanya, bukan sekarang tepatnya entah kapan yang pasti aku juga tak mengetahui perihal ini. Bertahan tanpa tau arti kebahagiaan membuat diri ini sulit menerima segala hal, semua canda seolah tawar tak ada pemanis di dalamnya.
Seolah kecewa dengan hal yang ada, ketika kita terlalu percaya pada tempat yang salah pada akhirnya di bodohi. Ingin berontak sebab langit seolah menertawai. Dari semua keburukan ini, mungkin aku bisa belajar dari sunyi yang menyimpan hal itu sendiri tanpa susah mencari apa yang benar-benar bukan untuk kita. Aku terlalu erat untuk menggengam ribuan hal yang tak sepatutnya untukku. Mungkin bentuk kesedihan ini hadiah dari semesta, ia mematahkan rasa yang telah ada namun tidak perihal dirimu. Semua lantas terjadi begitu saja, tanpa rencana.
Perpisahan semakin merapat, membentangkan jarak antara kita. Kini kita di dalam individu, tak lagi berjalan beriringan tertawa dalam suka dan bersedih ketika duka. Tanpa kenapa, tanpa tetapi. Sebenarnya aku tak ingin kita seperti ini.
kompasiana-end-5f5e1fec097f36719c1c6974.png
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H