"It is better that ten guilty escape than one innocent suffer." - William Blackstone
Pernyataan itu dikemukakan oleh WIlliam Blackstone, seorang ahli hukum Inggris yang hidup pada abad ke-18. Kutipan tersebut memiliki makna yang sangat mendalam. Pertama, bahwa dalam suatu sistem peradilan pidana dimungkinkan adanya suatu kesalahan yang mengakibatkan orang yang tidak bersalah dihukum. Kedua, hukum pidana merupakan suatu bentuk pemberian penderitaan bagi seseorang yang telah melakukan kejahatan.
Keadaan yang digambarkan dalam kutipan tersebut sangatlah sesuai dengan keadaan hukum di negara kita, dimana banyak orang yang tidak bersalah dihukum dan diperlakukan sebagai penjahat. Tidak heran jika banyak sekali terdengar kasus salah tangkap, atau orang yang baru dibebaskan karena terbukti tidak bersalah setelah lama dipenjara.
Oleh karena itu, sistem hukum diharuskan berjalan secara adil untuk memastikan bahwa orang yang diputuskan bersalah haruslah benar-benar bertanggung jawab. Karena, apabila pengadilan menghakimi orang yang tidak bersalah, pengadilan tidak hanya melakukan kejahatan terhada orang yang tidak beralah tersebut, tetapi juga tidak memberikan keadilan kepada orang yang menjadi korban.
Kali ini, kasus hukum salah sasaran dan tidak adil yang akan dibahas adalah kasus JIS. Dalam kasus ini, 5 petugas kebersihan serta 2 pengajar Jakarta International School (JIS) divonis bersalah dalam kasus kekerasan seksual terhadap beberapa murid JIS. Perkembangan kasus ini menunjukkan kuat dugaan adanya rekayasa kasus, yang dipertimbangkan dari fakta-fakta serta bukti yang lemah. Dasar inilah yang membuat 2 pengajar JIS pada akhirnya dibebaskan dan diputuskan tidak bersalah.
Namun dasar hukum yang sama tidak membuat terdakwa lainnya, 5 petugas kebersihan juga ikut menghirup udara bebas. Mereka tetap merasakan dinginnya jeruji besi dalam waktu yang tidak bisa ditebak. Ketidakadilan inilah yang diangkat dalam eksaminasi yang diadakan oleh Komisi untuk Orang Hilang & Korban Tindak Kekerasan (KontraS) serta Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI)
Eksaminasi perkara ini diadakan berdasarkan keterangan keluarga tersangka terkait adanya dugaan penyiksaan & rekayasa kasus selama proses penyelidikan sehingga menimblkan kesan sebagai pemidanaan yang dipaksakan. Hal tersebut makin diperkuat dengan fakta-fakta serta bukti yang menunjukkan bahwa adanya keanehan dalam kasus JIS, seperti tewasnya salah satu petugas kebersihan saat penyelidikan yang diduga karena penyiksaan yang dialaminya, serta bukti pemeriksaan baru yang menunjukkan bahwa tidak ada bukti telah terjadi kekerasan seksual. Berdasarkan hasil analisis yang dikemukakan oleh beberapa ahli dalam eksaminasi ini, yang terdiri dari akademisi, LSM, dokter forensik, hingga mantan jaksa, terlihat baik aparat penegak hukum maupun pengadilan telah gagal mewujudkan keadilan. Terdapat 3 temuan yang dianggap menjadi pelanggaran dalam penyedilikan kasus JIS.
Pelanggaran pertama adalah pelanggaran terhadap hukum formil. Maksud dari hukum formil adalah perhatian ditujukan kepada cara mempertahankan/ melaksanakan isi peraturan. Dalam kasus JIS ini, para tersangka mengalami praktik penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan. Inilah yang dianggap KontraS dan MaPPI terdapat adanya pelanggaran dari penyelidik.
Menurut Kepala Divisi Pembelaan Hak Sipil Politik Kontras Putri Kanesia, berdasarkan temuan Kontras dan keterangan keluarga tersangka, para tersangka mengalami penyiksaan selama proses penyelidikan. Kalau kasus itu benar adanya, muncul pertanyaan mengapa tersangka harus disiksa untuk mengakui perbuatan yang ditudingkan. Selain itu, dalam kasus 2 guru JIS terlihat juga kasus ini sangat dipaksakan karena lemahnya bukti pendukung serta proses rekonstruksi yan menyalahi aturan karena korban yang masih anak-anak terlihat diarahkan oleh ibunya dan aparat kepolisian.
Selanjutnya, pelanggaran kedua adalah tidak terpenuhinya hukum Materil. Aparat penegak hukum tidak menerapkan hukum materil sebagaimana mestinya, dimana tidak kuatnya unsur-unsur dalam pasal yang didakwakan. Selain itu, keterangan ahli maupun hasil visum yang membuktikan adanya kekerasan seksual juga diragukan seiring fakta/bukti lainnya yang muncul, seperti bukti yang menunjukkan tidak adanya tanda-tanda adanya kekerasan seksual. Hal ini juga tidak perna dijadikan pertimbangan baik oleh penuntut maupun majelis hakim.
Pelanggaran ketiga adalah tidak terlindunginya kepentingan anak. Koordinator Kontras Haris Azhar menilai, kasus ini telah merampas hak korban sebagai anak. Apalagi kasus itu cenderung dipaksakan, seolah-olah benar terjadi tindak pidana pelecehan seksual anak. Menurutnya, dalam kasus JIS ini pihak yang paling dirugikan adalah kepentingan anak. Adanya sentimen "emosi publik" yang dibangun oleh opini media massa yang selalu memojokkan pelaku menunjukkan kesal tidak netral dan independen. Begitu juga aparat penegak hukum serta hakim yang terlihat sangat memaksakan kasus.