Pernahkah kalian melihat sebuah postingan seseorang yang mengatakan dirinya pernah memiliki gangguan kesehatan mental?. Kemudian, dia menceritakan bagaimana dia bisa menyembuhkan gangguan tersebut dengan beberapa cara yang diketahui melalui internet ataupun buku, tanpa harus menjalani pengobatan ke tenaga ahli kejiwaan. Saat melihat postingan seperti itu, pertama saya melihat sisi positif bahwa itu baik untuk dirinya, ditambah lagi dari banyak komentar yang menunjukkan dukungan. Namun, selama pandemi, banyak orang yang terdampak kesehatan jiwanya, dari hanya sekedar rasa cemas hingga depresi akut. Sehingga tren tersebut menurut saya mungkin dapat memberikan dampak negatif. Untuk itu, ada beberapa hal yang bisa menjadi pertimbangan agar tren self-diagnosis terhadap gangguan kesehatan mental ini sebaiknya tidak dilakukan.
Media sosial digital bukan lagi hal yang asing bagi kita. Keberadaan media sosial mempermudah seseorang untuk berkomunikasi dan mengkomunikasikan pesannya kepada orang lain. Penggunaan media sosial juga semakin beragam, mulai dari bersifat individu dan berkembang menjadi wadah komunikasi, edukasi, jual-beli, dan berbagai bidang lainnya. Begitulah bagaimana media sosial menjadi dunia kedua bagi kita. Sehingga saat ini sosial media adalah tempat kita bersosialisasi, bukan hanya sarana komunikasi (Daniel Mier, dkk, 2016).
Media sosial digemari oleh berbagai kalangan dan karakter individu. Bahkan seseorang dengan kepribadian introvert, dapat menjadi seseorang yang berbeda. Media sosial memungkinkan individu untuk mengubah kepribadian dan penampilan mereka yang sama sekali berbeda dari kehidupan nyata. Untuk itu, sudah seharusnya kita mampu menyaring informasi dari postingan yang kita lihat.
Mendiagnosis diri sendiri (self-diagnosis) adalah memutuskan kita memiliki penyakit berdasarkan pengetahuan yang dimiliki atau setelah membaca informasi yang berkaitan dengan keluhan tersebut (Akbar, 2019). Orang yang terbiasa mendiagnosis diri sendiri secara berlebihan disebut cyberchondria (White & Horvitz, 2009, dalam Akbar, 2019). Padahal meskipun saat ini informasi mengenai kesehatan cukup mudah ditemukan, bukan berarti kita tidak memerlukan perawatan medis. Tidak jarang, kebanyakan orang terlalu membesar-besarkan keluhan setelah membaca informasi tersebut.
Menurut Darajat, 1988 (dikutip Fakhriyani, 2019), kesehatan mental merupakan keharmonisan dalam kehidupan yang terwujud antara fungsi-fungsi jiwa, kemampuan menghadapi problematika yang dihadapi, serta mampu merasakan kebahagiaan dan kemampuan dirinya sendiri secara positif, kondisi yang terhindar dari gejala-gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala penyakit jiwa (psychose). Individu yang mengalami kesulitan mencapai kesehatan mental, akan mengalami mental yang sakit (mental illness). Menurut Fakhriyani, ada beberapa individu yang mengalami hambatan dalam perkembangan mentalnya dan ada pula yang berupaya mencegah, sehingga setiap individu berbeda dalam penerapan fungsi kesehatan mentalnya.
Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa gangguan kesehatan mental bukanlah sesuatu yang dapat dengan mudah dianalisa dan diobati sendiri, dengan hanya berbekal informasi di internet. Ada banyak jenis dan tingkatan gangguan kesehatan mental dan masing-masing membutuhkan penanganan yang berbeda pula. Di sini saya akan memaparkan tiga alasan mengapa sebaiknya tidak melakukan tren self-diagnosis terhadap gangguan kesehatan mental di sosial media : 1. Media dapat memberikan efek, 2. Peran tenaga ahli kejiwaan, dan 3. dampak negatif bagi diri sendiri.
1. Media dapat memberikan efek.
Gagasan utama teori Dependensi Efek Komunikasi Massa (Melvin L. DeFleur dan Sandara Ball-Rokeach), berasumsi bahwa media massa dianggap sebagai sistem informasi yang berperan penting dalam proses pemeliharaan, perubahan, dan konflik pada tataran masyarakat, kelompok atau individu (dalam Abdul, 2013). Inti dari teori ini, fungsi media massa, yaitu memberikan informasi kepada masyarakat. Teori tersebut mengemukakan ada 3 efek dari media, yaitu Kognitif, Afektif, dan Behavioral.
Efek Kognitif, yaitu media dapat menciptakan atau menghilangkan ambiguitas, pembentukan sikap, agenda setting, perluasan sistem keyakinan masyarakat, penegasan/penjelasan nilai-nilai. Misalnya pada tahap ini, merubah dari ketidaktahuan menjadi lebih banyak tahu. Efek Afektif, dimana media dapat menciptakan ketakutan atau kecemasan, dan meningkatkan atau menurunkan dukungan moral. Dalam efek ini, lebih melibatkan perasaan dan emosi. Efek Behavioral, media dapat menggerakkan atau mengaktifkan pembentukan isu tertentu atau penyelesaiannya, menyediakan strategi suatu aktivitas, dan merangsang perilaku tertentu. Singkatnya, dapat terjadi tindakan atau perubahan kebiasaan.
Menurut Abdul (2019), meskipun saat ini khalayak dinilai lebih kritis, namun sifat hubungan antara khalayak dengan media massa bergantung pada lingkungan sosial individu tersebut. Sehingga menurut saya tren self-diagnosis terhadap gangguan kesehatan mental tersebut bisa saja sangat mempengaruhi individu dengan kondisi lingkungan sosial yang sempit dan mental yang tidak stabil.
Saat kalangan tersebut melihat tayangan tren self-diagnosis, dapat terjadi efek kognitif dan afektif, yaitu selain memberi dukungan moral, individu bisa saja melibatkan pikiran dan emosinya sehingga merasa triggered untuk menyamakan beberapa kondisi dengan kondisi postingan tren tersebut. Lebih berbahaya lagi, ketika telah memberi efek behavioral, yaitu adanya tindakan untuk meniru self-diagnosis terhadap kesehatan mental.