Bila perihmu itu menganga dalam air cuka, di tempat mana kau akan bersandar? Mungkin kau kan berdiam dalam sepi, dan gelap akan membayangimu.
Lalu kepada siapa kau mengeluh? Siapa yang kau nantikan untuk hadir? Siapa yang kau harap selalu ada buatmu? Menghiburmu di saat-saat itu menimpamu.
Hanya sekilas angin sembilu, tusukkan jarum panas ke lukamu. Dan lukamu yang perih itu pasti sakit rasanya. Bilakah kau kembali mengingatku? Bahwa aku ada di saat-saat itu menimpamu.
Mungkin ini takkan lama. Aku berdiri di sini bukan lagi untukmu. Jika kau harapkan pada angin pembawa hujan datang, tentu saja inginmu adalah petir yang siap menyambarmu.
Lalu apa yang harus kau lakukan sekarang ini? Lupakanlah semua tentang kita, lupakanlah aku yang selalu ada buatmu, karena kini dan dulu itu tidak lagi sama.
Di sini terangnya hari bersama matahari telah raib, takkan lagi kau dapatkan hati ini lagi. Cukupkan sudah cerita ini, kau harus mampu berjalan dengan kakimu sendiri.
Sebab pisau ini telah dalam menusuk jantungku, dan lihatlah hidupku yang sempat hilang arah, raga ini menjadi patung, jiwa ini pun lumpuh, dan malaikat pencabut nyawa pun bingung hendak dibagaimanakan nyawaku ini. Dicabutnya rohku tapi jasadku masih hidup, dibiarkan rohku hidup tapi jasadku seperti mati.
Sekarang kau bertahanlah di sana. Cukupkan sudah cerita ini. Tak usah meragukan pada kesetiaan matahari, sebab esok pagi dia kan menyapamu juga. Dan biarkanlah aku pergi, terlampau sudah kau taburkan garam di atas luka ini.
Dan bila hari ini lukamu menganga perih lagi, carilah pundak lain tuk sandarkan kepalamu. Hari ini dan esoknya lagi, cerita ini telah berakhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H