Lihat ke Halaman Asli

Peraturan Dilanggar? Salah Siapa?

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Tika Dian Pratiwi

Menaati peraturan adalah hal yang sangat sulit. Benarkah demikian? Saya rasa, Anda sendiri yang mampu menjawabnya. Masing-masing orang memiliki sikap yang berbeda dengan yang lainnya. Ada yang dengan senang hati menerima peraturan, tidak keberatan menuruti dan mentaati peraturan yang berlaku. Ada pula orang yang bersikap cuek dan cenderung memberontak. Merasa bahwa peraturan tersebut tidak relevan dan tidak sesuai dengan dirinya. Hingga akhirnya ia wujudkan dengan melakukan hal-hal yang ia sukai meski itu melanggar peraturan.

Sesuai dengan pengertian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, peraturan adalah ketentuan yang mengikat warga kelompok masyarakat. Peraturan digunakan sebagai panduan, tatanan dan mengendalikan tingkah laku manusia.

Ada dua bentuk peraturan, yaitu peraturan tertulis dan peraturan tidak tertulis. Peraturan tertulis umumnyaadalah hal yang telah disepakati bersama dan aturannya jelas. Jika melanggar, maka ada sanksi yang akan dikenakan. Peraturan tertulis ini misalnya, larangan membuang sampah sembarangan, larangan merokok, peraturan lalu lintas, dan lain-lain.

Berbeda halnya dengan peraturan tidak tertulis yang biasanya berupa tradisi turun-temurun. Jika melanggar, maka akan dikenakan sanksi sosial. Peraturan ini misalnya menghormati orang yang lebih tua, berbicara dan bertindak dengan sopan, dan lain sebagainya.

Banyak sekali berbagai contoh peraturan yang berlaku di negara kita. Akan tetapi, tidak sedikit pula pelanggaran yang dilakukan terhadap berbagai peraturan tersebut. Misalnya saja, terkait aturan untuk tidak membuang sampah di sembarang tempat. Di lingkungan sekitar kita, masih banyak orang-orang yang kadang merasa waktu dan tenaganya terkuras jika sepersekian detik menyempatkan waktu membuang sampah di tempat yang seharusnya. Tidak megherankan, jika akhirnya banyak sampah yang teronggok begitu saja di tempat yang tidak semestinya dijadikan tempat pembuangan.

Contoh kecil lainnya, adalah peraturan yang berlaku di sekitar saya, dan tidak jarang saya menjumpai pelanggaran yang terjadi. Saya adalah seorang mahasiswi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Salah satu universitas swasta terkemuka di Yogyakarta. Layaknya kampus-kampus yang lain, kampus saya memiliki beberapa aturan bagi seluruh warganya. Sehingga, peraturan ini tidak hanya wajib ditaati oleh mahasiswa, tetapi juga harus ditaati oleh dosen dan seluruh karyawan kampus.

Salah satu peraturan tertulis di kampus saya, adalah larangan untuk tidak merokok di area gedung kampus. Peraturan itu jelas tertulis dan terpampang di halaman gedung kampus. Di berbagai koridor, bahkan juga terpasang spanduk di salah satu sisi dinding kampus, untuk menegaskan bahwa segenap civitas akademika dilarang keras merokok di area gedung kampus.

Plang “Kampus Bebas Asap Rokok” yang terpasang di halaman gedung Thomas Aquinas, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Papan informasi yang terpasang di salah satu koridor danmenegaskan “Kampus Ini Bebas Asap Rokok”

Spanduk “Kampusku Bebas Asap Rokok” yang terpasang di salah satu sisi dinding gedung Teresa, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Akan tetapi, peraturan tersebut sepertinya bagaikan lukisan mural yang hanya sekilas dipandang, lalu diacuhkan. Mengapa saya berkata seperti ini? Karena lantai kampus saya sering dihiasi oleh berbagai jenis puntung rokok beserta abunya yang menyebar di berbagai tempat.

Apakah terjadi pelanggaran aturan? Jelas! Jika peraturan untuk tidak merokok di area gedung kampus ditaati dengan baik, seharusnya mata saya tidak menjumpai puntung-puntung rokok tersebut. Seharusnya tidak ada abu rokok yang bertebaran di lantai. Melihat hal ini, lalu apa pendapat para mahasiswa yang tidak merokok?

“Kalau aku sih nggak melarang. Aku lebih suka kalau ada orang yang mau merokok, tapi dia minta izin dulu. Misalnya (boleh nih, aku ngerokok? Ganggu nggak?). Aku lebih respect sama perokok yang seperti itu. Cuma memang ada batasan lah, setidaknya perokok itu tahu aturan kalau kampus itu bukan area untuk merokok,” kata Fidelis Dhayu, salah satu mahasiswa yang tidak merokok.

“Merokok itu hak masing-masing orang sih. Aku nggak melarang orang buat ngerokok asalkan mereka juga mau menghargai orang yang nggak merokok. Intinya, saling pengertian lah. Menurutku aturan kampus yang melarang merokok itu semu. Buktinya, nggak cuma mahasiswa yang masih merokok di kampus. Tapi beberapa dosen dan karyawan masih ada juga yang merokok di kampus. Sosialisasi mengenai aturan itu juga masih kabur dan nggak jelas,” ungkap Fransiska Natalia, salah satu mahasiswa yang tidak merokok.

Berbeda dengan Natalia dan Fidelis, Angelica Senggu yang juga bukan perokok aktif merasa terganggu dengan mahasiswa yang melanggar peraturan untuk tidak merokok di area gedung kampus.

“Ya merasa terganggu broo. Di satu sisi kan perokok pasif jauh lebih terganggu kesehatannya ketika menghirup asap rokok daripada mereka yang perokok aktif. Pastinya, perokok itu merugikan,” ungkapnya.

Peraturan yang kurang disosialisasikan dengan baik, berdampak pada banyaknya pihak yang belum mampu menaati peraturan tersebut. Hal itu pula yang diakui oleh Th. D. Wulandari, S.Fil., MM. selaku Kepala Kantor Humas, Sekretariat, dan Protokol (KHSP).

“Secara teknis, kampanye kampus sebagai area bebas asap rokok ini belum maksimal. Alat peraga dalam kampanye juga kurang efektif. Pemasangan alat peraganya juga belum sepenuhnya diletakkan di titik-titik yang strategis. Peraturan ini juga belum memiliki aspek persuasi yang ampuh,” kata Wulandari yang memberi keterangan di sela-sela kesibukannya.

Tidak efektifnya peraturan ini mengakibatkan banyak warga Atma Jaya Yogyakarta belum mampu menaati dan menjalankan peraturan ini dengan baik. Peraturan yang tidak ditaati ini, salah satu dampaknya akan mengganggu kenyamanan orang lain. Dalam hal ini adalah orang-orang yang tidak merokok.

“Sebenarnya untuk mewujudkan kampus bebas asap rokok, tidak hanya peraturan yang harus diberlakukan. Hal lain yang juga tidak kalah penting adalah aspek psikologis. Perokok sebaiknya harus empati dan sensitif. Jika berada di institusi pendidikan apakah pantas merokok? Jika merokok, kira-kira mengganggu orang lain tidak?”, tambah Wulandari seraya melebarkan senyum manis di bibirnya.

Lalu, apa pendapat mahasiswa yang sudah terbiasa mengepulkan asap dari mulutnya? Terganggukah mereka dengan adanya peraturan ini?

“Merokok itu hak asasi manusia. Sedangkan ketika kampus memberi larangan untuk tidak merokok, tidak ada sosialisasi ke mahasiswa dan tidak ada tempat khusus untuk merokok”, terang Brian Christian, salah satu mahasiswa Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Pernyataan Brian, tidak berbeda jauh dengan pernyataan salah satu mahasiswa Teknik Sipil yang enggan namanya disebutkan. “Menurut saya peraturan itu bagus. Tapi seharusnya disediakan ruang untuk kita para perokok. Meskipun tidak ada sanksi, saya akan menaati peraturan yang ada. Bahwa merokok di area gedung kampus memang tidak diperbolehkan,” katanya.

Antonia Adega, salah satu mahasiswa Fisip UAJY berpendapat bahwa “perokok aktif dan perokok pasif sama-sama memiliki hak. Perokok aktif punya hak merokok dan perokok pasif punya hak untuk tidak menjadi perokok pasif. Sebuah aturan layak disebut “kebijakan” ketika ia bijak, ketika penerapannya adil untuk semua pihak terkait, maka akan lebih baik jika pembuatannya tidak sepihak. Mahasiswa bahkan tidak dijelaskan mengapa peraturan tersebut harus ada,” ungkapnya.

Lemahnya peraturan tersebut dan tidak disediakannya area untuk merokok, adalah salah satu hal yang dikeluhkan oleh para perokok. Sehingga hal itulah yang menyebabkan mereka merokok di area gedung kampus. Peraturan yang diresmikan pada tanggal 3 April 2012 ini, perlu dievaluasi kembali. Wulandari menegaskan bahwa evaluasi tersebut untuk memperbaiki komunikasi, pengawasan dan punishment dari peraturan tersebut.

“Kekurangan dari peraturan ini adalah, alat peraganya ada untuk menegaskan kampus ini adalah kawasan bebas asap rokok. Tetapi, solusinya nggak ada. Kalau mereka dilarang merokok, lalu apa yang harus mereka lakukan? Solusi untuk mereka apa?”, terang Wulandari mengakui lemahnya peraturan ini.

Akan tetapi, nampaknya angin segar sepertinya akan berhembus untuk peraturan ini. Sesuai penjelasan Wulandari, dalam waktu dekat peraturan ini akan segera dievaluasi. Evaluasi tersebut dilakukan oleh Humas, Sekretariat, dan Protokol (KHSP) Universitas Atma Jaya dengan menyebarkan kuisioner guna menjaring pendapat dari segenap civitas akademika. Melalui evaluasi tersebut peraturan ini diharapkan dapat berjalan optimal dari komunikasi, pengawasan hingga sanksinya




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline