A.
Mendiknas RI, Muhammad Nuh pernah menegaskan bahwa kini agama di Indonesia telah kehilangan etikanya dan pendidikan di Indonesia juga telah kehilangan karakternya. Pernyataan ini bukanlah “pepesan kosong” tanpa dasar dan makna. Jika kita menerawang perkembangan kondisi bangsa Indonesia dari masa ke masa, sepanjang era reformasi dihiasi dengan kasus-kasus kekerasan dan terorisme dengan label agama.
Fenomena fanatisme yang minim sebagai dampak dari meluasnya gerakan radikalisme islam, hal inilah yang melatarbelakangi timbulnya kasus-kasus kekerasan dan terorisme. Radikalisme islam ditetapkan sebagai gerakan dengan pandangan terbelakang dan cenderung menggunakan kekerasan dalam mengajarkan dan mempertahankan keyakinannya.
Akhirnya, islam sebagai rahmatan lil’alamin menjadi terkesan “buas”, islam dipandang garang dan bringas di mata masyarakat. Muslim yang dikenal ramah di mata dunia, kini menjadi muslim yang mudah mengobarkan api permusuhan.
Hal ini tak bisa dibiarkan berlarut-larut. Pendidikan Islam memiliki peran sebagai pemelihara akhlaq, etika dan pembentuk karakter peserta didik. Inilah yang bisa menjadi solusi alternatif mencegah sekaligus menghilangkan aksi-aksi terorisme.
Radikalisme Pendidikan Islam
1.Pengertian Radikalisme
Radikalisme (al-tat}arruf) secara bahasa artinya adalah berdiri di posisi ekstrem dan jauh dari posisi tengah-tengah atau melewati batas kewajaran. Secara istilah, radikalisme adalah fanatik kepada satu pendapat serta menegasikan pendapat orang lain, mengabaikan terhadap kesejarahan Islam, tidak dialogis, suka mengkafirkan kelompok lain yang tidak sepaham, dan tekstual dalam memahami teks agama tanpa mempertimbangkan tujuan esensial syariat (maqashid al-syariat).
Radikalisme merupakan suatu paham yang menghendaki adanya perubahan, pergantian, dan penjebolan suatu sistem di masyarakat sampai ke akarnya. Radikalisme menginginkan adanya perubahan secara total terhadap suatu kondisi atau semua aspek kehidupan masayarakat.
1.Ciri-ciri Radikalisme
Kelompok radikalsime memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
·Sering mengklaim kebenaran tunggal dan menyesatkan kelompok lain yang tak sependapat. Klaim kebenaran selalu muncul dari kalangan yang seakan-akan mereka adalah Nabi yang tak pernah melakukan kesalahan (ma’sum), padahal mereka hanya manusia biasa. Klaim kebenaran tidak dapat dibenarkan karena manusia mempunyai kebenaran relatif dan hanya Allah yang tahu kebenaran absolut. Oleh sebab itu jika ada kelompok yang merasa benar sendiri maka secara langung telah bertindak congkak merebut otoritas Allah.
·Radikalisme mempersulit agama Islam yang sejatinya samhah (ringan) dengan menganggap ibadah sunnah seakan-akan wajib dan makruh seakan-akan haram. Radikalisme dicirikan dengan perilaku beragama yang lebih memprioritaskan masalah-masalah sekunder dan mengesampingkan yang primer.
·Kelompok radikal kebanyakan berlebihan dalam beragama yang tidak pada tempatnya. Dalam berdakwah mereka mengesampingkan metode-metode gradual yang digunakan oleh Nabi, sehingga dakwah mereka justru membuat umat islam yang masih awam ketakutan dan keberatan. Padahal wahyu Allah (QS. Al-Baqarah: 185) telah menegaskan bahwa sang Khaliq menghendaki hal-hal yang meringankan dan tidak menginginkan hal-hal yang memberatkan hamba_Nya.
·Kasar dalam berinteraksi, keras dalam berbicara dan emosional dalam berdakwah. Hal ini sangat bertolakbelakang dengan kesantunan dan kelembutan Nabi dalam berdakwah (QS. Al-Imron: 159). Firman Allah (QS. An-Nahl: 125) juga menegaskan bahwa Allah menganjurkan umat Islam agar berdakwah dengan cara santun dan menghindari kata-kata kasar.
·Kelompok radikal mudah berburuk sangka kepada orang lain di luar golongannya. Mereka senantiasa memandang orang lain hanya dari sisi negatifnya saja dan mengacuhkan sisi positifnya. Pangkal dari radikalisme adalah berburuk sangka kepada orang lain, serta merta merendahkan orang lain. Kaum radikal kerap kali tampak merasa suci dan menganggap kelompok lain sebagai ahli bid’ah dan sesat.
·Mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda berpendapat. Kaum ini mengkafirkan orang lain yang berbuat maksiat, mengkafirkan pemerintah yang menganut demokrasi, mengkafirkan rakyat yang rela terhadap penerapan demokrasi, mengkafirkan umat Islam di Indonesia yang menjunjung tradisi lokal, dan mengkafirkan semua orang yang berbeda pendapat dengan mereka, sebab mereka yakin bahwa pendapat mereka adalah pendapat Allah.
2.Faktor Kemunculan Radikalisme
Beberapa faktor penyebab munculnya radikalisme, yaitu:
·Pengetahuan agama yang setengah-setengah melalui proses belajar yang doktriner.
·Literal dalam memahami teks-teks agama sehingga kalangan radikal hanya memahami Islam dari kulitnya saja tetapi minim wawasan tentang esensi agama.
·Tersibukkan oleh masalah-masalah sekunder, sembari melupakan masalah primer.
·Berlebihan dalam mengharamkan banyak hal yang justru memberatkan umat.
·Lemah dalam wawasan sejarah dan sosiologi sehingga fatwa-fatwa mereka sering bertentangan dengan kemaslahatan umat, akal sehat dan semangat zaman.
·Radikalisme tidak jarang muncul sebagai reaksi terhadap bentuk-bentuk radikalisme yang lain seperti sikap radikal kaum sekular yang menolak agama.
·Perlawanan terhadap ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik di tengah-tengah masyarakat.
Radikalisme acap kali muncul sebagai ekspresi rasa frustasi dan pemberontakan terhadap ketidakadilan sosial yang disebabkan oleh mandulnya kinerja lembaga hukum. Kegagalan pemerintah dalam menegakkan keadilan akhirnya direspon oleh kalangan radikal dengan tuntutan penerapan syariat Islam. Namun tuntutan penerapan syariah sering diabaikan oleh negara-negara sekular sehingga mereka frustasi dan akhirnya memilin cara-cara kekerasan.
Penerapan syariah yang disuarakan oleh kelompok-kelompok radikal sering sekali hanya menyentuh persoalan aurat, larangan membonceng ngangkang, dan perda-perda syariat yang diskriminatif. Penerapan syariat jarang menyuarakan isu-isu pembelaan terhadap kaum minoritas dan lemah yang teraniaya, pembelaan terhadap non-Muslim yang dihalang-halangi kebebasan beribadahnya, dan lain-lain.
Paham ini menghendaki perubahan yang bersifat revolusioner yang lebih banyak menelan korban daripada mendapat hasil yang memuaskan. Dalam dunia pendidikan jelas peserta didiklah yang menjadi korbannya. Fanatisme terhadap agama menjadikan peserta didik rela menjadi “tumbal” aksi bom bunuh diri atas nama agama dengan embel-embel jihad (berjuang di jalan Allah).
Radikalisme yang paling berbahaya adalah radikalisme mahasiswa. Di satu sisi, mahasiswa memahami cara berpikir secara filsafat (radik). Di sisi lain, mahasiswa juga sangat potensial untuk disulut pada gerakan-gerakan radikalisme dengan sikap dan perilakunya yang kaku serta cenderung tak mau mengalah. Inilah yang mesti diwaspadai sebagai seorang mahasiswa.
B.Solusi Radikalisme (Deradikalisasi)
Dalam pandangan Yusuf al-Qardhawi, solusi-solusi untuk mengatasi masalah radikalisme antara lain:
·Menghormati aspirasi kalangan Islamis radikalis melalui cara-cara yang dialogis dan demokratis.
·Memperlakukan mereka secara manusiawi dan penuh persaudaraan.
·Tidak melawan mereka dengan sikap yang sama-sama ekstrem dan radikal, artinya kalangan radikal ekstrem dan kalangan sekular ekstrem harus ditarik ke posisi moderat agar berbagai kepentingan dapat dikompromikan.
·Di butuhkan masyarakat yang memberikan kebebasan berpikir bagi semua kelompok sehingga akan terwujud dialog yang sehat dan saling mengkritik yang konstruktif dan empatik antar aliran-aliran.
·Menjauhi sikap saling mengkafirkan dan tidak membalas pengkafiran dengan pengkafiran.
·Mempelajari agama secara benar sesuai metode-metode yang sudah ditentukan oleh para ulama Islam dan mendalami esensi agama agar menjadi Muslim yang bijaksana.
·Tidak memahami Islam secara parsial dan reduktif.
·Sebaiknya kalangan radikal lebih mempertimbangkan kondisi dan situasi serta kemampuan kaum muslim yang sangat beragam.
·Seyogyanya kaum radikal memahami urutan perintah dan larangan yang harus diprioritaskan untuk dikerjakan atau dijauhi.
·Kalangan radikal seyogyanya memegang prinsip bahwa perbedaan dalam masalah ijtihad adalah keniscayaan sehingga mereka tidak terjebak dalam klaim kebenaran tunggal.
C.Relevansi antara Deradikalisasi dan Filsafat Pendidikan Islam
Pendidikan Islam yang terinfiltrasi oleh radikalisasi perlu reorientasi ke arah yang sesuai dengan spirit islam yang mengajarkan saling menghargai dan persaudaraan. Ajaran filsafat pendidikan Islam komprehensif telah mencapai status yang tinggi dalam kehidupan kebudayaan manusia yakni sebagai ideologi suatu bangsa dan negara. Perlu adanya deradikalisasi agar mendorong terwujudnya keharmonisan dalam berbangsa.
Filsafat pendidikan islam membina manusia mempunyai akhlaq yang tinggi. Deradikalisasi pendidikan islam memupuk manusia menjadi uswatun hasanah. Dapat dilihat bahwa antara deradikalisasi dan filsafat pendidikan islam begitu relevan untuk menjadikan pribadi manusia yang akhlakul karimah dan menjadi suri tauladan yang baik bagi seluruh umat manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Masduqi, Irwan. Deradikalisasi Pendidikan Islam, Deradikalisasi Pendidikan Islam Berbasis Khazanah Pesantren, dalam Jurnal Pendidikan Islam. Redaksi: Jurnal Pendidikan Islam FITK UIN Sunan Kalijaga, Volume II, Nomor 1, Juni 2013/1434.
Qardhawi, Yusuf al-, al-Shahwah al-Islamiyah bayn al-Juhud wa al-Tatarruf., Bank al-Taqwa, 1406 H.
http://sosbud.kompasiana.com/2013/10/12/mahasiswa-dan-trend-radikalisme-598270.html
Irwan Masduqi, Jurnal Pendidikan Islam: Deradikalisasi Pendidikan Islam hlm: 2
Ibid, hlm: 3-4
Yusuf al-Qardhawi, al-Shahwah al-Islamiyah bayn al-Juhud al-Tatarruf. (Cairo: Bank al-Taqwa 1406 H), hlm. 33-35
Irwan Masduqi, Jurnal Pendidikan Islam: Deradikalisasi Pendidikan Islam, hlm: 4-6
http://sosbud.kompasiana.com/2013/10/12/mahasiswa-dan-trend-radikalisme-598270.html
Irwan Masduqi, Jurnal Pendidikan Islam, Deradikalisasi Pendidikan Islam, hlm:6-7
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H