Lihat ke Halaman Asli

Sebuah Sayatan Luka

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Aku tak tahu seberapa tajam luka ini menusuk hatiku. Seberapa banyak darah yang bercucuran karena luka ini sangat perih. Ku angkat kedua tanganku dan kutaruh di dadaku. Kemudian, aku menutup mata dan berusaha menenangi jiwa yang gelisah sejak percakapan terakhir berlangsung. Oh Tuhan! Aku bisa merasakan jika saat ini hatiku menangis. Aku bisa betul-betul merasakannya jauh lebih dekat dari yang biasa aku rasakan. Sesak mencekamku seketika. Kini aku tahu, seberapa tajamnya pisau yang telah menggoreskan luka itu. Dan seberapa perihnya luka akibat kelakuan pisau tersebut. Sakit. Perih. Aku pun tidak tahu harus bagaimana untuk memulihkan luka tusuk yang kini terdapat di hatiku. Aku terdiam membeku.

Ingin aku berteriak, memuntahkan seluruh keluh kesahku, meluapkan semua emosiku. Aku adalah sebuah luka yang selalu ditutupi dengan senyuman. Bahkan, aku yakin senyuman itu sudah muak berpura-pura dan memilih pergi dari hidupku yang selalu menyusahkannya. Aku ingin tertawa lepas, seakan lupa dengan semua masalahku walau hanya berlangsung dalam hitungan hari, jam, bahkan menit sekalipun. Aku ingin sepertinya yang menanggapi masalah ini tidak dengan hati. Seakan penderita amnesia kronis dengan semudah membalikkan telapak tangan, dia melupakan semua hal yang sudah terjadi. Dan bahkan.....aku ingin sepertinya yang mudah jatuh cinta dengan orang lain tanpa memedulikan perasaan orang yang kini tengah berharap kepadanya. Tapi, aku rasa, aku tidak sanggup melakukannya. Dia bukan aku. Dan aku bukan dia. Beda kepribadian, dan tentu....beda cara untuk menyikapi perasaan seseorang.

Kata-kataku sudah habis untuk mendeskripsikan semua perlakuan jahatnya selama ini. Sosoknya yang cuek, tidak peka, bahkan tidak peduli sama sekali membuatku tidak habis pikir mengapa aku bisa menemui sosoknya di dalam perjalanan hidupku. Aku tidak keberatan jika pertemuan ini adalah permulaan takdir untuk menjodohkanku suatu saat nanti dengannya. Tetapi, harus dengan cara inikah? Harus dengan sakit di awalkah? Adilkah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline