Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI) telah berkembang pesat AI yang semula berasal dari fiksi ilmiah, sekarang menjadi realitas yang nyata. Model-model terobosan seperti GPT-4 dari OpenAI dan Gemini Pro dari Google yang mendorong batas-batas dari apa yang dapat dicapai oleh AI.
Model-model ini bukan hanya alat untuk menghasilkan teks atau sekedar mencari informasi, mereka mewakili batas baru dalam teknologi AI. GPT-4 menunjukkan kemampuan luar biasa, salah satunya adalah GPT-4 mampu untuk menampilkan emosi dan perasaan seperti halnya manusia.
Di samping itu Gemini Pro juga memiliki kecanggihan yang tak kalah hebat. Gemini mampu untuk mengolah data dan dijadikan "podcast" yang interaktif dalam sekejap. Dan yang lebih hebat lagi adalah kecanggihan tersebut merupakan sebagian kecil dari hal-hal yang bisa dilakukan oleh AI. Kemajuan yang pesat ini telah memicu sebuah pertanyaan krusial: Akankah AI menggantikan manusia di masa depan?
Potensi AI untuk mengotomatisasi berbagai macam pekerjaan merupakan hal yang sangat mengkhawatirkan. Laporan World Economic Forum tahun 2023 memperkirakan bahwa AI dapat menggantikan 85 juta pekerjaan secara global pada tahun 2025. Perpindahan ini tidak terbatas pada pekerjaan berketerampilan rendah; AI semakin mampu melakukan tugas-tugas yang dulunya dianggap membutuhkan keahlian manusia.
Di bidang hukum, perangkat yang didukung AI sekarang dapat meninjau kontrak dan melakukan penelitian hukum. Di bidang kesehatan, AI digunakan untuk mendiagnosis penyakit dan mengembangkan rencana perawatan yang dipersonalisasi. Bahkan di bidang kreatif seperti seni dan musik, AI menghasilkan karya-karya orisinal yang menyaingi karya-karya yang dibuat oleh manusia. Potensi otomatisasi yang meluas ini menimbulkan kekhawatiran yang signifikan tentang masa depan pekerjaan dan mata pencaharian jutaan orang.
Dampak AI terhadap tenaga kerja dan ekonomi sangat kompleks dan beragam. Meskipun AI dapat menyebabkan hilangnya pekerjaan, AI juga dapat meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Sebuah studi dari Accenture menemukan bahwa AI dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja hingga 40% dan menggandakan tingkat pertumbuhan ekonomi pada tahun 2035. Dengan mengotomatisasi tugas-tugas yang berulang dan biasa, AI dapat membebaskan pekerja manusia untuk fokus pada upaya yang lebih kompleks dan kreatif.
Hal ini dapat mengarah pada penciptaan industri dan pekerjaan baru, serta pengalaman kerja yang lebih memuaskan bagi banyak orang. Namun, transisi menuju ekonomi yang didukung oleh AI tidak akan berjalan tanpa tantangan. Perpindahan pekerja dapat menyebabkan keresahan sosial dan ketidaksetaraan ekonomi, sehingga membutuhkan langkah-langkah proaktif untuk memastikan transisi yang lancar.
Kemunculan AI juga memunculkan pertimbangan etika yang penting. Memastikan bahwa sistem AI bersifat adil, tidak bias, dan transparan sangatlah penting. Bias dalam algoritme AI dapat melanggengkan ketidaksetaraan yang ada dan mengarah pada hasil yang diskriminatif.
Selain itu, penggunaan AI dalam proses pengambilan keputusan, seperti persetujuan pinjaman atau peradilan pidana, menimbulkan kekhawatiran tentang akuntabilitas dan transparansi. Ketika AI semakin terintegrasi ke dalam kehidupan kita, penting untuk membuat pedoman dan peraturan etika untuk memastikan bahwa AI digunakan secara bertanggung jawab dan untuk kepentingan masyarakat.
Masa depan pekerjaan di era AI masih belum pasti, namun satu hal yang jelas: kita harus beradaptasi dan berevolusi agar dapat berkembang dalam lanskap baru ini. Seperti yang dikatakan oleh Erik Brynjolfsson, Direktur MIT Initiative on the Digital Economy,