Lihat ke Halaman Asli

Tigaris Alifandi

Karyawan BUMN

Regenerasi Petani dan Revolusi Mental Guna Mewujudkan Swasembada Pangan

Diperbarui: 22 Mei 2019   07:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi petani. Gambar dari CNNIndonesia.com

Tampaknya narasi swasembada pangan yang diraih oleh Presiden Soeharto pada tahun 1984 boleh saya nilai terlalu berlebihan memang. Meskipun harus kita akui bahwa produksi beras kita saat itu mencapai 27 ton, melampaui angka konsumsi kita yang berada di kisaran 25 juta ton. 

Perlu diketahui bahwa saat itu kita masih impor beras sebanyak 414 ribu ton (ditengah melimpahnya produksi beras domestik). Nyatanya, swasembada pangan tersebut konon hanya bertahan 5 tahun. Boleh dikatakan rapuh.

Sebelum berdebat lebih jauh, mungkin kita harus menyamakan persepsi tentang perihal makna swasembada. Tersusun atas dua kata, yaitu swa (berarti sendiri/mandiri) dan sembada (berarti cukup, atau mencukupi). Secara harfiah kita artikan sebagai kemampuan untuk mencukupi secara mandiri, biasanya berkaitan untuk bidang pangan.

Pemerintah Orde Baru sendiri mengartikan swasembada pangan dalam konteks yang lebih sempit. Acuannya adalah harga beras. Selama harga beras terjangkau, kita boleh disebut swasembada. 

Sementara itu, visualisasi swasembada yang tergambar dalam benak kita adalah keadaan dimana segalanya serba berkecukupan, tanpa impor, dan harga pangan murah meriah.

Angan kita tentang swasembada sepertinya kurang realistis. Untuk itu ada yang perlu dikoreksi atas persepsi yang terbentuk dalam benak kita semua.  

Terlepas dari itu semua, sampai kapan pun, keberhasilan swasembada pangan 1984 yang sudah menjadi sejarah bagian kebanggaan bangsa  itu akan membayangi setiap pemerintahan setelah Soeharto.

Ada gagasan Thomas Robert Malthus yang begitu membekas dalam pikiran. Berkaitan dengan kependudukan, bahwa jumlah populasi cenderung meningkat secara geometris, sedangkan kebutuhan hidup riil meningkat secara arismatik.

Fakta banyaknya lahan pertanian yang bertransformasi menjadi perumahan semakin menohok siapapun presidennya. Saya dapat menyaksikan situasi ini dengan jelas sekarang. Mungkin anda juga.

Logikanya adalah semakin banyak penduduk, semakin banyak kebutuhan pangan yang harus terpenuhi. Otomatis dibutuhkan lebih banyak faktor produksi pangan untuk mewujudkan keseimbangannya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline