(bag. 1)
Rupanya mendekati satu tahun peluncuran wacana Full Day School, pemerintah sudah memberikan sinyal yang kuat jika tahun ini dirasa perlu untuk diterapkan. Tiga tulisan saya (saat itu) ikut meramaikan perdebatan di media maenstream atas kebijakan tersebut (saat itu masih wacana).
Melihat postur FDS yang hendak diterapkan ini, selayaknya publik harus berpegang pada koridor dunia pendidikan. Masih diingat, awal-awal diluncurkan ide tersebut, tak ayal membuat Presiden harus ikut berbicara. Sederhana sebabnya (menurut saya), banyak opini-opini yang terbaur dengan muatan politis bersuara merespon wacana tersebut. Presiden bersikukuh untuk meneruskan wacana FDS dengan beberapa catatan, salah satunya, beliau meminta dibentuk tim yang serius menangani pra penerapan FDS tersebut.
Apa lacur, pekan kemarin Memdikbud sudah menegaskan jika tahun ajaran baru ini, proses belajar mengajar akan berlangsung lima hari, minus hari Sabtu. Artinya, hari Senin sampai Jum'at, jam kerja sekolah kisaran delapan Jam.
Respon kembali berdatangan menyikapi kebijakan tersebut. Yang menarik bagi saya adalah respon dari pihak Muhammadiyah yang mempertanyakan plus minus siswa harus full day. Muhammadiyah mengkhawatirkan "potensi gulung tikarnya" lembaga-lembaga diniyah yang berkembang di tengah masyarakat.
Tulisan terakhir saya setahun lalu juga mempertanyakan potensi atas efek penerapan FDS ini di tengah masyarakat. Seserius itukah FDS mesti diterapkan? Bagaimana dengan kesiapan stakehoulder pendidikan menyikapi hal teersebut? Atau, (ini yang paling saya benci) jangan-jangan kebijakan itu hanya proyek "mercusuar" belaka!
Mengingat kebijakan tersebut sudah diambang pintu, sementara regulator minim sosialisasi atas penerapannya, maka langkah yang arif adalah memberikan wacana kepada regulator lengkap dengan segudang alasan kelemahan dan kelebihannya. Serta berusaha sebisa mungkin untuk menghindar dari perdebatan di luar konteks dunia pendidikan.
Mari kita berhitung sederhana. Di TPQ dekat rumah ada tiga usaha yang mengikuti aktifitas diniyah sore hari. Mulai dari jualan bros dan manik-manik hiasan, cilok, sampai gorengan. Pada 2016 saya sempat bertanya omzet tiap hari. Rerata, tiap penjual beromzet 75 ribu sampai 100 ribu. Artinya, aktifitas Diniyah sore hari mampu mengundang sirkulasi perdagangan kisaran 300-an ribu rupiah.
Uraian di atas hanya sekelumit aktifitas sosial yang berpotensi hilang jika FDS diterapkan. Padahal tahun 2016 ada sekiitar 15 ribuan lembaga diniyah di negeri ini. Silahkan dihitung sendiri dampak (yang mungkin dianggap remeh-temej) dari FDS ini.
Saya yakin, Muhammmadiyah merasa tidak segaris dengan penerapan FDS ini bukan "hanya" masalah camilan yang mengikuti proses pembelajaran diniyah itu. Perputaran budaya atas kegiatan Diniyah (baik yang dikelola Muhammadiyh maupun yang lain) tidak bisa dianggap remeh temeh. Ada sirkulasi pembelajaran di sana, ada konsep penguatan lingkungan di sana, ada ratusan ribu ustad ustadzah bersinergi untuk ikut membangun karakter bangsa ini.
Ini masih dari jangkauan potensi sisi Diniyah, belum ke aspek-aspek lainnya.