Aku menatap kekakuan, walau gaduh yang lebih sering bersliweran. Aku sedang diajak menatap kehilangan kota tua. Polesan kesungguhan menjaga hati. Aku, sering terjebak pengkulitan tanpa berhasrat menyesap kenyal daging, atau sumsum sekalipun. Gemeretak itu, hanya bunyi benturan geligi dengan gumpal darah yang membeku lama.
Aku, diajak terbang melihat dari langit, tetapi aku takut jatuh. Aku dipaksa menuai batin-batin dari bunga-bunga kematian. Kota tua itu, kini berubah wajah.
Aku menyusuri lorong yang pernah renyah dengan derai tawa juga air mata. Bertemu dengan sebagian nadi-nadi yang muram, lemah gizi, lunglai wacana. Aku, terus menyeret kaki ditengah keterseokan tafsir menatap sudut-sudut kota, tua.
Aku bukan pahlawan, hanya ingin ikut mencipta jiwa-jiwa kepahlawanan. Aku ingin bergerak melepas bius-bius kepalsuan di langit-langit atap keresahan. Aku, semakin tidak memiliki arti.
Aku sedang mengajak bergurau kota tua, yang sudah separuh tidak terlihat aslinya. Puing-puing kehancuran mengajakku mengerutkan dahi. Menjulurkan tangan, mengajakku turut mati.
Aku, tidak ingin keluar dari nuansa detik-detik kematian kota tua. Aku masih punya dahi untuk membentur dinding, masih punya keringat untuk membasah sedepa tanah renta, masih punya gairah melotot mata untuk mengakui atas ketidak setujuan sejarah.
Aku, dan kota tua. Negeri yang ingin melepas biru cinta. Semoga Tuhan masih menyiapkan kuburku di pinggirt jauh salah satu sudut sunyi kota tua ibu hati.
Menemanimu dalam keterpurukan, memang butuh kesaktian nurani!
Salam pagi Indonesia, kota tua yang terlindas jiwa sunyi.
Kertonegoro, 13 Oktober 2016
Salam,