Lihat ke Halaman Asli

AKHMAD FAUZI

TERVERIFIKASI

Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

Puisi | Kota Tua

Diperbarui: 13 Oktober 2016   11:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi gambar : Halonusantara.com

Aku menatap kekakuan, walau gaduh yang lebih sering bersliweran. Aku sedang diajak menatap kehilangan kota tua. Polesan kesungguhan menjaga hati. Aku, sering terjebak pengkulitan tanpa berhasrat menyesap kenyal daging, atau sumsum sekalipun. Gemeretak itu, hanya bunyi benturan geligi dengan gumpal darah yang membeku lama.

Aku, diajak terbang melihat dari langit, tetapi aku takut jatuh. Aku dipaksa menuai batin-batin dari bunga-bunga kematian. Kota tua itu, kini berubah wajah.

Aku menyusuri lorong yang pernah renyah dengan derai tawa juga air mata. Bertemu dengan sebagian nadi-nadi yang muram, lemah gizi, lunglai wacana. Aku, terus menyeret kaki ditengah keterseokan tafsir menatap sudut-sudut kota, tua.

Aku bukan pahlawan, hanya ingin ikut mencipta jiwa-jiwa kepahlawanan. Aku ingin bergerak melepas bius-bius kepalsuan di langit-langit atap keresahan. Aku, semakin tidak memiliki arti.

Aku sedang mengajak bergurau kota tua, yang sudah separuh tidak terlihat aslinya. Puing-puing kehancuran mengajakku mengerutkan dahi. Menjulurkan tangan, mengajakku turut mati.

Aku, tidak ingin keluar dari nuansa detik-detik kematian kota tua. Aku masih punya dahi untuk membentur dinding, masih punya keringat untuk membasah sedepa tanah renta, masih punya gairah melotot mata untuk mengakui atas ketidak setujuan sejarah.

Aku, dan kota tua. Negeri yang ingin melepas biru cinta. Semoga Tuhan masih menyiapkan kuburku di pinggirt jauh salah satu sudut sunyi kota tua ibu hati.

Menemanimu dalam keterpurukan, memang butuh kesaktian nurani!

Salam pagi Indonesia, kota tua yang terlindas jiwa sunyi.

Kertonegoro, 13 Oktober 2016
Salam,

Akhmad Fauzi 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline