Bagi yang menyaksian talk show di sebuah televisi, antara pakar hukum internasional (Hikmahanto Juwono), mantan kepala BIN (AM Hendro P), dan anggota DPR RI dari fraksi PDI P (Effendi Simbolon) menyiratkan benar pernak-pernik warna wacana tentang tema kontroversi kewarganeraan Menteri ESDM, Archandra Tahar. Seperti itu pula wajah opini media (utamanya media sosial) atas kontroversi masalah kewarganegaraan tersebut.
Kalau boleh saya petakan, berdasar dari talk show tersebut, ada tiga kelompok besar dalam menyikapi permasalahan kontroversi tersebut, yaitu :
1. Kelompok pro pemerintah, yang dibagi lagi menjadi tiga bagian. Yaitu a) pro dengan mengunakan logika dan dasar hukum, b) pro dengan segala dalih pembenaran menurut tafsirnya sendiri, c) pokoknya mendukung, baik dengan cara yang garang maupun cukup berdiam diri saja dalam membela kebijakan yang ada. Dalam Talk show tersebut, menurut saya, terlihat diwakili oleh AM Hendro P. Jika saya salah, saya mohon maaf.
2. Kelompok tengah. Kelompok ini cenderung mengedepankan aturan dan hukum-hukum normatif yang berlaku di negari ini. Bagi saya, dalam talk show tersebut sangat diwakili oleh Pakar Hukum Internasional, Hikmahanto Juwono.
3. Kelompok yang kontra. Semirip dengan yang pro, kelompok inipun juga dibagi tiga, punya dasar atas kontranya, asal menolak, dan garang atau terdiam dalam penolakannya. Efendi Simbolon lebih mewakili kelompok ini.
Terlepas dari setuju dan tidak setujunya pembaca atas simpulan sederhana saya ini, itulah fakta opini yang sekarang senantiasa bergulir di dunia opini bangsa ini. Yang jelas, apapun tema yang sedang hangat diperbincangkan, di media, opini-opini (yang ditulis penulis bebas) menyiratkan tiga kelompok besar tersebut.
Ada yang membabibuta membela pengangkatan Menteri tersebut dengan segala dalih menurut tafsirannya sendiri. Kadang terasa hambar dengan sumber hukum dan aturan, lebih menyiratkan akan keberpihakan atas figur-figur dan kepentingan yang tersembunyi. Ada juga yang memang memiliki data yang cukup sebagai dasara untuk membenarkan atau menyalahkan atas kontoversi itu. Ada juga yang menolak, yang juga asal menolak.
Yang sangat memprihatinkan itu adalah, Gaya-gaya garang (baik menolak maupun mendukung tetapi tanpa dasar yang jelas) atau malah bersembunyi dengan penolakannya dan pembenaran yang dimiliki).
Semakin memprihatinkan, ketika media (baik maenstream maupun sosial) malah memblow up kelompok-kelompok yang asal menolak atau asal membenarkan atas segala kebijakan yang ada. Jika kondisi gaya media semacam ini menggurita, sangat mungkin perjalanan sejarah berada dalam hukum rimba. Siapa yang kuat itulah yang menang.
Saya berharap sekali ada gerakan dari masyarakat yang menggugat dua jenis kolompok ini. Sekaligus juga menggugat media-media yang kurang ramah dengan idealisme pemberitaannya, berikut dengan pewacana yang cenderung mulai berani membolak-balikkan fakta dan aturan hukum negara dan agama.
Menyasar siapa mereka, bagi saya bukan hal yang penting. Karena, seperti pernyataan banyak pakar informatika, gerakan ini senyap, tetapi terasa keberadaannya. Sebuah kelompok yang lebih cenderung mengusung kepentingan-kepentingan.