Lihat ke Halaman Asli

AKHMAD FAUZI

TERVERIFIKASI

Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

Taufiq Ismail, Provokator? Haruskah Terusir?

Diperbarui: 24 April 2016   13:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Taufiq Ismail"][/caption]Taufiq Ismail dan Negeri Ini
 KLU Hari Ini

Bagi sebagaian besar pecinta sastra, mantan guru bahasa di SMA Regina Pacis, Bogor (1963-1965) tidak saja dikenal sebagai pemilik ketajaman imajinasi dan pejuang sastra bangsa, tetapi juga acapkali menjadi rujukan untuk membuat dan membandingkan karya-karya sastranya. Taufiq Ismail, penyair dengan ciri khas religinya sudah sebegitu membumi bagi atmosfir sastra Indonesia. Beliau yang juga bisa disebut sebagai kolomnis tiga jaman, karena beliau termasuk salah satu pencetus lahirnya majalah sastra “Horison” bersama Mochtar Loebis dkk. Beliau, bukanlah orang yang tiada wacana sejarah (kosong) dalam menapaki perjalanan negeri ini.

Maka, berdiamdirikah kita ketika dia harus diusir saat membaca puisi?

...
 Kita tidak sekedar ada untuk Indonesia, tapi sampai di titik mana pandangan ini bertahan melihat parodi busuk para pelaku ulung dengan bahak yang sangat dipaksa sampai hari ini, bahkan sampai malam ini?


 Tidak ada lagi pilihan lain
 Kita harus
 Berjalan terus

(Taufiq Ismail “KITA ADALAH PEMILIK SAH REPUBLIK INI”)

Begitu teriak Taufiq Ismail di suatu waktu dalam tatap mata imajinya. Rasakan! Betapa kokoh pondasi keberpihakannya pada negeri ini, pada bangsa yang telah diusik dengan parodi kebusukan pelaku-pelaku ulung yang terbahak-bahak. Kini, malam ini, parodi itu terus beradegan seakan mata-mata anak bangsa tidak melihatnya. Seakan, mereka tidak bisa dibaca dengan kasat mata.

Konsep kebangsaan atas karya-karyanya bukanlah berangkat dari kegenitan jiwa untuk meminta kursi atau menjarah sebagian wilayah kuasa. Tidak! Rentetan panjang perjalanan hidupnya telah berbicara banyak untuk negeri ini.

Semasa mahasiswa Taufiq Ismail aktif dalam berbagai kegiatan. Tercatat, ia pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa FKHP UI (1960–1961) dan Wakil Ketua Dewan Mahasiswa (1960–1962). Ia pernah mengajar sebagai guru Ilmu Pengantar Peternakan di Pesantren Darul Fallah, Ciampea (1962), dan asisten dosen Manajemen Peternakan Fakultas Peternakan, Universitas Indonesia Bogor dan IPB (1961-1964).

Yang tidak boleh dilupakan bagi kita sebagai pemerhati sastra Indonesai adalah, akibat menandatangani Manifes Kebudayaan, yang dinyatakan terlarang oleh Presiden Soekarno, ia batal dikirim untuk studi lanjutan ke Universitas Kentucky dan Florida. Ia kemudian dipecat sebagai pegawai negeri pada tahun 1964.

Tidak itu saja, Taufiq Ismail merupakan salah seorang pendiri Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Taman Ismail Marzuki (TIM), dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) (1968). Di ketiga lembaga itu Taufiq mendapat berbagai tugas, yaitu Sekretaris Pelaksana DKJ, Pj. Direktur TIM, dan Rektor LPKJ (1968–1978). Setelah berhenti dari tugas itu, Taufiq bekerja di perusahaan swasta, sebagai Manajer Hubungan Luar PT Unilever Indonesia (1978-1990).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline