Ada skenario matang dalam rencana itu, jangan dianggap sepele.
Untuk pesta bikini, prediksi saya, pesta ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari usaha masa-masa sebelumnya untuk :
1) test cash kewaspadaan penghuni negeri ini dalam memeluk norma dan budaya,
2) dianggap Indonesia sudah waktunya untuk dimulai (melihat penguasa yang dianggap ramah dengan pola pikir mereka –menurut mereka-), dan
3) perpaduan gerakan antara bisnis (yang berbau maksiat) dengan hasrat utk mem-MOVE ON-kan Indonesia, ala mereka.
Yuk waspada!
Tambahan info :
1.Undangan pesta ini mencatut 16 SMA Negeri se Jakarta! Padahal, ternyata, omong kosong belaka. Menjadi rentetan duga : 1) benar-benar nekat si penyelenggara karena telah menjual kejujuran yang seharusnya menjadi bagian penting dari sebuah usaha, 2) bisakah kita menalarkan, mengapa yang disasar anak SMA? 3) ujian bagi guru,PGRI, dan FGRI. Jangan melulu bicara kesejahteraan dan perang teori tentang pendidikan. Sementara di kisah nyata hidup siswa ada virus berbahaya berupa “upaya”, berupa mainstream, berupa gerakan dengan menghalalkan segala cara!
2.EO (penyelenggara) pesta bikini itu sedang dicari. Dari rilis Kementrian Pariwisata, sang EO tidak datang untuk mengklarifikasi maksud rencananya. Bukti jika : 1) negara sudah turun tangan, berarti tidak ada kongkalikong dalam gegeran ini, 2) semakin memperjelas adanya “niat jahat” dari sebuah rencana.
3.Menjadi keanehan, pasca pembatalan, Gubernur DKI berkilah jika tidak mampu mencegah dan melarang kegiatan pesta itu. Malah memberikan wacana yang lebih seram, ingin “mensertifikat pelaku prostitusi” sekaligus memfasilitasi mereka dalam bentuk penyediaan “apartemen”. Sangat layak untuk dikritisi : 1) tangan pemerintah (dalam hal ini gubernurnya telah membuka diri) turun tangan menyapa bisnis pelampiasan hasrat ini. Yah wajar, memang cukup prospektif, bisnis prostitusi ini walau penuh bahaya laten erosi norma. Sementara pengemis dan gelandangan (yang papa), sebegitu dinginnya dalam menyapanya. Mudah saja, ditangkap, didata, diusir! 2) menjadi ujian sekaligus pembuktian sejarah kebenaran akan nilai-nilai berkah nantinya.
Sangat layak untuk ditarik benang merah dari urian di atas dengan segala wacana “move on” yang ramai dalam dua tahun terakhir. Pertanyaannya : 1) Akankah kini dianggap sudah saatnya Indonesia dijajal kesiapan untuk move on itu? Beginikah pola move on yang dinginkan?
Ranum benar skenario yang sedang dimainkan. Berawal dengan mengajak manusia untuk tergantung pada gaya hedonistik, kemudian mencuci sisa-sisa memori bahasa langit dan hati untuk dilupakan. Lantas menanamkan kesuburan ajakan lewat fasilitas-fasilitas.
Itulah gelar perkara meliuknya benang merah pelenyapan Indonesia untuk melupa dari norma dan etika yang bisa saya tangkap. Pararel dengan tengarai adanya “londo ireng” plus pembenturan negara dengan agama. Terus, siapa yang dimaksud? Maaf, tidak perlu sibuk mencari siapanya. Saya lebih senang untuk sibuk mengamati, memprediksi, dan terjun untuk membenahi, walau hanya sekadar satu kata di dalam lingkup keluarga.
Intinya pada kesilauan menabur maenstream “move on”. Maka menjadi wajar jika terjadi pertarungan arus! Semakin berat kondisi ini, karena akan terjadi pertarungan dua kutub yang berbeda rasa. Satu sisi beramunisikan pola pikir keuntungan dunia, sisi satunya lagi bersenjatakan ketajaman memeluk norma. Yang satu penuh dengan sarana, satunya hanya berbekal nyawa dan istiqmah.
Silahkan dipilih, sesuka kita! Berangkat dari membaca sebuah benang merah, tertemukan dua arah persimpangan di tengah pergulatan hidup bangsa.
Kertonegoro, 29 April 2015
Ilustrasi : compusiciannews.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H