Lihat ke Halaman Asli

AKHMAD FAUZI

TERVERIFIKASI

Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

Paradoksi Sikap “Standard Ganda”

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1423917567397264296

[caption id="attachment_396954" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi : http fahrur.blogdetik.com"][/caption]

Progres yang cukup menggembirakan diperlihatkan dunia pasca tragedi di Prancis. Pernyataan sang presiden yang menganggap tidak ada keterkaitan agama dengan sang pelaku membawa optimis hawa dunia untuk menuju keseimbangan dalam melihat wacana. Bisa juga pernyataan ini ditafsiri sebagai pengeremen pemerintah Prancis agar terhindar dari konflik selanjutnya. Tetapi setidaknya pernyataan ini menyiratkan kejernihan sudut pandang dalam melihat kasus per kasus.

Komulasi konflik terselubung memang sebuah keniscayaan. Runtutan dari pengulangan konflik-konflik yang sudah terjadi sejak dunia ini ada. Nah, menarik garis tegas antara sebab dan justifikasi itulah yang menyebabkan konflik silent itu sejenak terhenti untuk saling merenungkan diri.

Menyeret agama atas perilaku “penganutnya”, yang mendiklair dirinya sebagai penganut, bisa difahami selama penyeretan itu tidak memuncak pada justifikasi telah terjadi “kesalahan” nilai dalam agama tersebut. Agama adalah tuntunan, diyakini oleh penganutnya untuk bisa menghantarkan diri pada perspektif hidup yang selamat. Selamat di dunia dan selamat di akherat kelak. Menuntut agama untuk bertanggung jawab atas “salah tafsir” penganutnya inilah yang menyeruak selama ini. Tentu sangat wajar jika dalam keramaian itu terjadi tarik ulur antara yang pro dan kontra. Wajar pula jika masing-masing berasumsi aneka rona tanya dalam analisisnya.

Ada yang menempatkan seni di atas nilai agama. Ada yang sebebasnya membebaskan diri di atas norma-norma. Ada yang menenggelamkan etika untuk menyuburkan ekspresi diri yang dirasakan. Semua adalah bagian yang tak terpisahkan untuk mengisi peradaban. Syukurlah, masih ada yang mau menyeret kejadian ini pada porsi yang sebenarnya.

Seminggu lalu ada peristiwa menarik. Kementerian agama RI kedatangan tamu agung dari negeri kanguru. Tidak tanggung-tanggung, tiga tokoh muslim yang dianggap pengaruh di negaranya ikut turun gunung untuk membujuk pemerintah RI agar menimbang ulang keputusan hukuman mati, khususnya yang menyangkut warganya, kasus Bali nine.

Menilik dengan cermat kehadiran ketiga tokoh ini memang memunculkan banyak prediksi. Tetapi ketika hal ini dikorelasikan dengan kegigihan negeri kanguru yang lebih ramah dengan satire yang dibungkus seni pada saat kasus Charlie Hebdoh, tentu memunculkan puncak simpulan yang jelas betapa standard ganda itu memang berkelindan dalam nafas hidup perpolitikan mereka. Jika memang demikian adanya, maka bisa dipastikan pula negara-negara yang selama ini begitu terlihat hebat dalam menyuarakan HAM, berpotensi pula berpandangan yang sama dengan negeri kanguru ini.

Menarik pula disimak perbedaan tanggapan saat mensikapi hilangnya warga yang terindikasi terekrut ISIS. Bangladesh dan Pakistan, lebih terasa nuansa proteknya dengan mengatakan jika warganya “diculik” oleh ISIS. Malah Indonesia yang lebih senang mengatakan mereka “bergabung”.

Apapun istilah yang digunakan, seharusnya menjadi kepekaan psikologi negeri ini (Indonesia) agar lebih tepat membaca fenomena. Maka tidak heran, ketika ada kebijakan dinas pendidikan di Jawa Tengah yang tidak mengikutkan sekolah yang berstatus Madrasah mengikuti OSN, bukanlah hal yang perlu untuk disuarakan (apalagi di hebohkan), baik oleh media maupun oleh pemerintah. Tetapi ketika Ahok mendapat hadiah “anjing”, gema itu sampai pada nuansa sara, dan harus terdengar kemana-mana!

Yups, akhirnya memang bisa disimak dengan penuh permakluman, mengapa kang Pepih “mendidih” idealisme jurnalistiknya. Mengapa senyap pujian ketika MUI mendukung kebijakan presiden Jokowi tentang hukuman mati bandar narkoba. Karena keduanya jadi acuan “kapan suara harus diteriakkan” oleh “mereka” dalam mengemban standard gandanya.

Yang lebih gres adalah serombongan pekerja sosial dari luar negeri yang mendesak pemerintah untuk mengampuni kesepuluh pelaku kasus narkoba. Tidak tanggung-tanggung, tokoh-tokoh bisnis dunia pun (termasuk pemilik Virgin corporation) ikut bersuara. Bagi saya, ini suatu keanehan, sementara hukuman mati untuk kasus ini tidak sekali ini ada di dunia. Ada apa? Jawabnya, standard ganda sedang mengalami proses paradoksi sikap! Sampai kapan? Sampai berusaha untuk tidak menyambung sikap itu dengan objektifitas dalam memandang masalah.

Padahal, jika dikaji lebih dalam, sebenarnya kontradiksi ini lebih menjadi lahan subur untuk memunculkan kontra-aksi lain, yang kemudian akan dilabeli oleh yang menggenggam standard ganda itu sebagai“teroris”, fundamentalis, anti kesetaraan, dan sejenisnya.

Yah, dunia memang sudah menua, setua hati dan pikir dalam memaknai dunia untuk menjadi tunggangan maksud hidup masing-masing. Semakin teryakini dalam hati jika tidak ada yang mampu menggenggam kebenaran dan kesempurnaan bersikap, kecuali kita meminta itu kepada Sang Kuasa!

Kertonegoro, 13 Maret 2015

· Termasuk yang kecewa dengan kegigihan seorang mantan kepala BNN yang nampak lebih menganggap warga kita yang “bergabung”. Andai dia mengganggap sebagai “ketersasatan dari efek rayuan”, hal itu lebih meninggikan nilai warga negeri.

Link terkait :

http://internasional.kompas.com/read/2015/01/10/03020391/Presiden.Perancis.Orang-orang.Fanatik.Ini.Tidak.Ada.Hubungannya.dengan.Islam/?utm_source=kompasiana&utm_medium=widget&utm_campaign=w_terpopuler

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline