April 2014 menjadi awal dan akhir perjalanan dinasti. Sebab itulah energi yang dimiliki terasa total dikeluarkan. Tidak aneh jika dalam kurun waktu hampir setahun ini perang opini menggila di media. Wajar juga jika masing-masing mengharumkan yang ingin dimunculkan. Warna keberpihakan itupun semakin hari semakin kentara. Mana media yang kuning, hijau, putih, yang tidak ada yang berwarna abu-abu. Siapa berpihak ke siapa untuk apa juga sudah mulai terbaca. Mulai dari pembungkusan bahasa ilmiah akademik sampai pada bahasa embongan nan arogan. Komplit rasanya untuk mempetakan ada apa di belakang siapa.
------)***(-----
1.Realitas Yang Terjadi
Kembali rakyat diminta menilai dengan ketajaman visi masing-masing. Dibiarkan gelembung pencitraan merambah pikir awam. Sementara gelontoran propaganda saban hari berganti sesuai angin dan liukan masing-masing “tim” yang dimiliki. Banjir jadi komidi, somasi jadi euphoria, statemen jadi hantaman, kesalahan masa lalu dan kini menjadi pengait alur sandera dan hujatan-hujatan. Hampir tidak ada ruang dan semangat untuk menitipkan kebaikan yang mungkin masih tersisakan dalam hidup dan langkah yang pernah ditorehkan.
Benarkah tulisan ini karena saya kurang peka akan suasana, atau memang saya terlalu jauh terjerembab rutinas kerja hingga nuansa “ngeh” untuk membela siapa begitu sulit menancap di dada. Atau malah saya tidak tahu bahwa kue negeri ini memang patut diperebutkan dengan warna-warni siasat-siasat. Sepengetahuan saya, Orla terdepak menyisakan selilit yang masih terasa sampai sekarang. Orba tumbang menjadi penguat untuk menolak kepahlawanan seseorang, bahkan mau dijadikan nama jalan saja sulit untuk diterima, kecuali hanya nama sebuah bukit! Dinasti berikutnya riuh dengan cacian referendum. Di era reformasipun hampir tidak ada yang luput dari getah penghujatan. Akankah ini akan berlanjut di April tahun ini?
Seharusnya kesia-sian energi pemberangusan yang dikeluarkan selama ini menjadi pelajaran yang cukup baik bagi simpanan energi yang masih ada di otak. Seharusnya, ringannya menghujat itu (yang toh) akhirnya akan menjadi hujat juga nanti diakhir dinastinya, sudah harus diakhiri. Tidak ada karakter yang bisa dibanggakan bagi anak cucu di kemudian waktu dengan pembiasaan ini, kecuali kebanggaan telah mampu menumbangkan nama dan keadaan.
2.Energi Pemihakan Yang Sia-Sia
Berpihak filosofinya adalah membaguskan yang menjadi objek keberpihakan. Konsep membaguskan sudah final, yaituhanya dengan memperjuangkan (memproses) dengan jalan kebaikan juga. Pemihakan bisa diibaratkan sebagai geliat Publik Relation, perlu ada penyuaraan untuk mengemukakan kebaikan, merayu, dan mengajak. Meminimalisir musuh memperbanyak rangkulan relasi.
Bagaimana keberpihakan itu bisa berjalan jika harus meyisakan luka di pihak lain? Bagaiaman proses memihaknya akan menghasilkan kebagusan jika langkah yang dilakukan juga menabrak-nabrak kebagusan? Logika apa yang ada di yang berpihak jika menghujat lawan adalah pundi untuk mengumpulkan marwah yang dipihaki? Jalan pikir apa sampai menganggap lawan harus dilihat sebagai menu hujatan?
Bukankah proses keberpihakan semacam ini lebih mendekati pembusukan? Atau minimal menjadi bangunan abadi ganjalan bagi yang dipihaki nantinya? Lebih pas akan menjadi fokus garapan tersendiri dalam perjalanan tiraninya nanti yang itu juga butuh energi tersendiri.
Berkonseplah memihak untuk menggunungkan wibawa dan meminimalisir murka. Bervisilah untuk mengibarkan bendera jumawa yang itu akan menarik ketinggian nilai dipihaknya.
3.Akhir Dan Awal Dinasti Yang Manis
Kurang lebih tiga bulan ke depan, awal dan akhir dinasti itu akan terjadi. Belum juga ada isyarat niatan untuk mengubur pembiasan saling membully. Semua seakan sudah pasang kuda-kuda dengan kartu masing-masing. Lirik sana-sini, mencari kesempatan melempar kartu kematian mengharap kemenangan. Aroma amunisi saling menyandera menyengat lengkap dengan gaya lobi yang canggih dan piawai. Kembali, rakyat juga yang diharap partisipasinya untuk membaca dan dijejali aneka warna gaya.
Tahun ini tahun krusial bagi perbaikan kehidupan negeri ini. krusial karena dinasti pasti berganti yang akan membawa konsekwensi yang besar akan gaya perjalanan ketatanegaraan negeri ini. Perbaikan tidak hanya dari sisi kehidupan ekonomi, atau pergantian kelompok yang memegang kuasa atau gaya telikung yang berbeda. Perbaikan seyogyanya juga dalam konteks menatap pergantian itu dengan mulus dan bijaksana. Tidak ada hiruk pikuk hujatan, luntur dendam-dendam, musnah kepicikan yang terpendam.
Jangan sia-siakan krusialnya tahun ini dengan mengumbar arogansi dan kepongahan golongan, baik lewat opini maupun gerakan senyap bawah tangan. Bagi yang ingin maju mari kita iringi dengan lampion pencerahan dan ketulusan. Bagi yang lengser era kita persilahkan menghela nafas menikmati masa akhir dinastinya dengan lengang dan elegan.
Apa sulitnya saling menarik energi kebaikan dari momentum awal dan akhir ini. Bukankah semuanya bersemangat dan berniat (yang telah tertancap untuk maju) hanya untuk kebaikan bumi nusantara. Bagi yang sakit hati dan terpinggirkan legakan untuk melepas perihnya rasa yang pernah ada. Bagi yang pernah menyakiti kuatkankesadaran untuk menghadirkan keinsafan.
Jika gagal kembali momen awal dan akhir dinasti ini dengan manis dan teduh, maka dapat dipastikan lima tahun ke depan akan terjadi pemutarbalikan objek hujatan. Rakyat juga yang akan kena getahnya, rakyat juga yang akan menjadi sasaran empuk untuk dihisap darah merananya.
Ah, memang enak mengajak kebaikan dengan kata-kata. Tetapi Ingatlah, kalau ternyata lebih mudah menghamparkan hujatan dan cerca-cerca. Sadarlah!
Mari kita hantar pergantian dinasti ini dengan melepas senyum dan menatap teduh dalam menyambut, untuk kado peradaban anak cucu kita.
Kertonegoro, 2 Pebruari 2014
Gambar : beemagz.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H