Mati kau!
Aku intip dari balik awan
Setinggi bau busuk yang tertutupi
Bangkai pembiasaan yang dianggap ilusi
Angin kematian telah menyentuh ranting-ranting takdir
Di pucuk rentan kegigigihan menjaga wibawa amanah
Berhembus semakin kencang
Berdiri bulu roma kesalahan
Yang senyap dari hidung manusia
Yang lenyap dari mata hati norma
Yang hinggap bersama hati gundah
Kepak sayapku akan menjadi do’a
Untuk mempercepat bangkai-bangkai bergelimpangan
Amis, tanpa perlu penyedap rasa
Harum, jika di tatap dengan amarah
Mata hati kebenaran anak negeri telah aku curi
Ketika wibawa terselip di antara ketiak berselaput dosa
Etika telah aku kebiri
Untuk aku ganti poles pesona
Benci telah aku hujamkan
Bersama balas dendam
Lewat tikaman-menikam
Kini saatnya berpesta
Mengendus aroma jasad-jasad yang dihimpit beban sejarah,
Dan gelap mata
Kini saatnya mencicipi daging dinasti
Agar terus selalu menjadi uji coba saling bela diri
Pesta pora atas tergeletaknya pemilik hati
Yang selalu bersembunyi
Diantara benar salah
“Saatnya berpesta, mengkuliti wajah bangsa…”
Celoteh burung Nazar, tengadah do’a menimbun asa
Dari balik kaca benggala!
Kertonegoro, 3 Maret 2015
Ilustrasi : henrinurcahyo.wordpress.com