Lihat ke Halaman Asli

AKHMAD FAUZI

TERVERIFIKASI

Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

Ini Anak-anak Kita!

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Anak-anak/Admin (Kompas.com)"][/caption]

Kaki mungil itu terseok membaca takdir

Setelah semalaman memimpikan harapan

Anak kita yang dilahirkan di bawah prasasti cinta

Yang ditimag-timang dalam dekapan maha sutera

Dalam kelembutan desah kasih bunga syurga

Terhembus bisikan, "Engkau adalah permata"

Tapi kini tergolek lemah dipembaringan belantara angkara

Karena berebut sangka tak peduli lagi jerit tangis bibir mungil bunga rumah tangga

Terhembas logika akan makna bahtera

Lupa jika senyum orang tua berjuta rasa

Tangan lentik itu patah!

Tak lagi mampu menopang derajat cita-cita

Yang didambakan saat janin tersulam ruh dan raga

Wajah itu memar lebam!

Ditengah kekehan tawa manusia-manusia

dihiruk-pikuknya ambisi dunia

diliarnya tudingan-tudingan tak bercelah

Kini anak itu lumpuh!

Mengharap sisa-sisa belas kasih yang mau

Sementara deretan kepedulian semakin menjauh

Tak terjangkau lagi oleh teriakan yang berpeluh

Mata juling itu tak lagi menggambarkan apa-apa

Hanyalah seonggok darah untuk ditelan mentah-mentah

ditendang-tendang, dibakar musnah nyali manusianya

Anak manusia, anak kita

Rumah mereka telah berujud neraka

Tak ada lagi kasih sayang, apalagi cinta

Hilang segala dendang nyanyian-nyanyian berkah

Ini anak kita, yang diasuh makhluk jalang!

Terasah oleh kebobrokan nafsu binatang!

Borok luka-luka yang tidak pernah hilang!

Seakan menjadi santapan peradaban yang tidak pernah kenyang!

Ini anak kita

Anak-anak yang seharusnya bermain di taman nirwana

Nyata dunia lengkap dengan derai tawa

Berliurkan sahaja, berlepotan cipta karsa

Lucunya, ketika kentut beraroma bunga

Gemasnya, ketika tangis adalah kerinduan

Nelangsanya, ketika gigi susu menetes darah

Takutnya, ketika senja menjadi isyarat dimulainya

Dengkuran mimpi lelapnya

Ini anak kita

Yang esok hari berharap menjelma manusia perkasa

Tapi!

13952177241475443161

Warning!

Lunas sudah kegeraman saya, ketika barisan kata ini meletup dari pengapnya kemarahan jiwa. Ketika melihat "Iqbal" lara di pembaringan, sementara sang pelaku, orang tuanya, sudah pasti terhempas kengerian yang tiada tara. Juga ketika melihat Iqbal-Iqbal sebelumnya, yang terjadi lurus begitu saja tanpa ada yang mengeuphoriakan, kecuali hanyamenikmati beritanya, selanjutnya lupa lagi tertelan ego bisnis masing-masing. Hentikan lahir Iqbal baru lagi, jika tidak ingin kegeraman ini muncul kembali.

Laraskan hati

Anak adalah amanah

Hanya bisa dijamah oleh cinta

Dari manusia-manusia yang berhati mulia

Kertonegoro, 19 Maret 2014

Ilustarasi http://facebook.com/KNDJH

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline