(Renungan Malam Jum'at : "Pasca Tayangan Mata Najwa")
Kalau toh benar situasi keluarga ini menggambarkan miniatur Indonesia, negara memang harus segera mengambil ancang-ancang untuk mengantisipasinya. Dua kutub semakin kentara! Istri yang tadinya sudah bulat memilih X, goyah. Anak yang begitu setianya dengan Y, lunglai bingung harus beralih ke mana? Saya? Malah kasihan melihat keduanya bingung! Mata Najwa, Rabu, 14 Mei 2014. Debat pelaku '98, yang mencerminkan kerucutnya warna dua kutub. Anehnya, masing-masing sedang di gotong oleh (menurut keinginan saya, yang seharusnya) sebagai yang berpotensi negarawan...
"Ini caleg, ya Pa?", sergah sulung saya mengawali lima belas menit perjalanan tayangan acara ini. Sebelumnya senyap, serius. Saya jawab saja, "Ia, salah satu aktifis yang dulu pernah di kejar-kejar rezim orba". "Kok pedas menyalahkan PS?" (saya inisiasi saja ya -pen.) Lanjut putriku si pemilih pemula ini. "Wis Mbak, dengarkan saja dulu...", rupanya istri terusik dengan celoteh sulung saya ini.
Hangatnya diskusi di acara Mata Najwa menjadikan senyap berlama-lama, sesekali ditimpali kata-kata "Lho...", "Apa iya..", "Waduuuhh...", dari bibir anak dan istriku, setiap kali tayangan ini jeda dengan sajian komersialnya.
Untunglah, Mata Najwa kali ini ditutup dengan manisnya penyair favorit keluarga, Taufiq Abdullah. Sehingga posisi yang tadinya buram dalam kesenyapan beberapa waktu, sedikit mengerucut pada satu titik, "sedih dengan kondisi negara, Indonesia".
"Terus, kira-kira apa iya, ya pa, dia pelaku penculikan?", tanpa di duga istri bertanya. Asal tahu saja, "dia" adalah idola sang istri! Bingung juga menjawab. Dari pada pusing berfikir, saya balik bertanya, "Lha gimana menurut pean...?". "Yaitu, saya bingung juga Pa, kalau melihat Ibu korban, kasihan juga kan...?", kata istri, terasa nuansa kebingungan sebagai seorang ibu.
"Tapi kan belum terbukti dia pelakunya, Ma. Coba lihat tadi, dari partai Mama lebih kuat alasannya...", celetuk putri pertama saya menghampiri diskusi saya dengan istri. "Begini saja, sebagai seorang Ibu, feeling Mama, rasanya lebih condong seperti apa...?", timpalku. Istri terdiam, anak sulungku beranjak pamitan untuk tidur. "Kok kamu terkesan membela dia mbak...?", lanjutku sedikit mencegah sang anak untuk tidur dulu.
Aneh saja yang saya rasa, hampir tiga minggu lalu keduanya sudah sepakat jika harus berbeda. Yang satu alasannya ingin tokoh yang fresh, yang satu tertarik dengan ketegasan dan kemandiriannya. Lha kok sekarang mulai ada tanda-tanda berubah arah. Dari tayangan Mata Najwa!
"Calegnya kurang keren, Pa, lebih pada rasa balas dendam....!", kata sulungku beranjak pergi. "Tetapi kan wajar, Mbak, lha wong dia (caleg itu -pen.) juga tahu dan pelakunya...", timpal istriku lagi.
"Lho, mereka berempat kan juga pelaku, Ma. Takutlah saya dengan negeri ini kalau harus saling membalas nantinya....". Kini terasa ada rasa sewot dari putri mungilku ini. Aku tetap diam, menikmati diskusi ala kadarnya itu.
"Terus kalau benar...?".
"Iya kalau benar, kalau salah...?".
"Terus bagaimana dengan para Ibu yang kehilangan putranya, mbak...???".
"Masak harus main tuduh sich, Ma...?!".
Wow, terpaksa saya hentikan diskusi yang sudah mendekati titik didih itu. "Sudah, nggak usah diskusi, semua belum tahu mana yang benar. Kalau memang bingung, pikir lagi calon kalian. Berubah pilihan boleh kok, negara nggak akan ambruk....!", kataku sedikit membentak, alih-alih hanya untuk sock terapi biar debatnya kusir ini segera terhenti. Mujarab ternyata, tetapi tak urung, si sulung masih menyisakan cemberutnya, sementara sang istri membolak-balikkan bola matanya, entah apa maksud yang ada.
Aku ditinggal sendiri di ruang tamu, menelisik sisa-sisa diskusi yang entah harus diberi berapa nilai berartinya. Yang saya tahu, besok aku harus mencari literatur untuk membenarkan semua ini. Tetapi, dari mana literatur yang harus aku cari? Semua telah bercampur opini dengan daya magnit tarik-menarik antar dua lini.
Ah, bodohnya saya, yang tidak bisa menjadi penengah, walau hanya setingkat keluarga. Akupun beranjak dari tempat duduk untuk sesegera mungkin tertidur pulas. Di samping karena tidak ingin mengkhayal siapa yang benar, juga tidak ingin pula besok pagi didahului keduanya diskusi lagi. Sementara teryakini, sekarang keduanya sudah mulai menemukan argumen sendiri-sendiri untuk membenarkan!
Aku ingin tidur, Indonesia
Berharap besok pupus nista
Hilang serapah dan fitnah
Bukan takut engkau bubrah
Tetapi, aku malu,
Karena, jika istri dan sulungku marah
Rumah kecilku ini
Tak lagi berwarna cerah!
Kertonegoro, 15 Mei 20114
Ilustrasi : raul-aul7.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H