(gbr. dari : djibnet.com)
Untuk cinta yang telah tertitipkan
Apa kabarmu, setelah lenyap tertelan
Jiwa-jiwa sadar,
menahan
Dialog cinta sepanjang jaman
Langit biru menggelantung, secuil gula-gula
menghunjam
Untuk menghias sebanyak aneka rasa
Cinta memang pantas tertitipkan
Di secuil makna
…………..
Yang secuilpun
Tetaplah cinta!
Kejamnya engkau, Say, yang menyisakan kepahitan setelah manisnya cinta tertancap dalam, di sela-sela bawah sadar diri. Sisa-sisa itu menggelisahkan, say. Sering meniduriku, tak jarang memaksa untuk menenggelamkan yang pernah ada. Cinta, tak seharusnya engkau titipkan semanis itu di secuil gula-gula, ketika kita faham betapa pahitnya jika harus tertelan lenyap tanpa bekas.
Belum pernah aku temukan fajar yang segerah ini. Lengkingan nada tak beraturan bersahutan mengimbangi semilir angin yang tak lagi terasa sejuk menyegarkan. Kemana engkau kini, Say? Haruskah aku menyapamu tanpa ada kehangatan di lirikmu lagi. Jangan tanyakan kerinduan, puspa merah berantai kesungguhan itu masih aku kalungkan di lingkar kesejatian. Pernahkan, kita berdebat untuk menghabiskan anasir kebimbangan yang ada? Sayu mata yang mengiringi setiap hembusan nafas, tertahan kala itu, menjadi kilatan bola api yang menyambar-nyambar kejernihan logikaku. Sungguh suatu kerinduan, mengapa harus secuil permen itu yang engkau sodorkan!
Kemarin, aku sempatkan mampir di kursi yang pernah engkau biarkan tanganmu tergenggam emosi rasa. Kesederhanaan kursi itu dengan latar depan rerimbunnya pepohonan tak mampu lagi menghadirkan riang lepas yang pernah terukir di sana. Tetap aku mencoba mencarinya, Say. Mungkin masih tersisa, walau hanya cukup untuk ku. Berkaca-kaca, meski sebenarnya menyayat dalam gemuruh tangis dada, ketika tak lagi aku temukan senyum cinta di semua kolong yang bisa aku jamah.
“Haruskah kita segegabah ini, Pa…?”, desah bimbangmu membuka semangat hati untuk membuka diskusi-diskusi.
“Aku juga tidak tahu, apakah ini gegabah, Say…”, sergahku, mengajaknya untuk merasakan juga kalau aku pun terlilit kebimbangan.
Engkau benar, Say, tidak membuka lagi kata-kata kecuali terpejam serapat keyakinan yang mulai tumbuh. Akupun juga merasakan gejolak di setiap mili aliran darah antara meyakini dan tidur dalam kebimbangan. Kalau toh aku harus menatap wajah itu setajam-tajamnya, memang suatu keharusan. Ketajaman tatap adalah bentuk nyata untuk meleburkan kebohongan-kebohongan yang mungkin engkau tangkap dari gairah yang aku miliki.
“Aku ingin merasakan cinta yang tulus, Pa. Yang berdiam diri di keagungan rasa, memuliakan hati apa adanya”, bisikmu mendekat. Manis sekali, karena harus engkau akhiri dengan gemetarnya bibir sehebat-hebatnya.
Aku salah Say, yang tidak berani menatap mu setajam sebelumnya. Gemetar bibir ini cukup sudah untuk menjadi bukti hebatnya rasa cinta yang engkau miliki. Aku melayang terbuai nikmatnya hati, selembut engkau letakkan di relung ini. Say, aku melihat putihnya rasa yang engkau miliki.
—)***(—
Gelap, lamunan yang tak mampu lagi menembus indahnya warna siang itu. Kabut begitu cepat hadir, menggumpalkan keburaman catatan-catatan. Biru itu terhenti seketika, seiring menguapnya syahdu dalam gelora darah cinta. Kejamnya engkau, Say, yang menitipkan cinta di secuil gula-gula. Masih tampak jelas wajah itu, betapa ekspresifnya engkau hujamkan kasih yang ada bersama tertelan manisnya gula-gula mengalir di sela-sela kepastian cinta ini.
Aku raba bibir ini, mengapa masih engkau sisakan. Sementara kini lumatan itu ingin engkau redupkan, seiring sayunya mata yang tak mungkin pernah hilang.
Manis gula-gula melanglang seumur jaman
sementara cinta, tersedak dalam ketidakpastian
Kertonegoro, 24 Agustus 2014
Akhmad Fauzi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H