Ketua DPD baru, Irman Gusman, telah menyatakan diri siap menjadi mendiator dari panasnya konstelasi (Metro TV beberapa waktu lalu). Mampukah? Jangan melihat kemampuannya, lihat saja niatan keinginan untuk ikut mengakhiri perseteruan antar dua koalisi. Butuh keberanian untuk mau unjuk diri di tengah gamangnya elemen masyarakat menatap suasana. Kegagalan memang lebih tampak dari pada keberhasilan yang akan diusahakan. Kerja keras sudah jelas, makan hati hampir pasti!
Ruang media terbelah, ruang akademisi sudah tidak mampu lagi menelisik kadar objektifitas masalah. Pengamat, tergantung di mana dia tayang wawancara. Kompasiana? Apalagi. Terbelah, saling seret meyeret semakin menjauhkan. Sekjen Nasdem yang tertarik dengan "keihlasan" PPP menerima aturan koalisi untuk duduk di kursi pinpinan legislasi, direspon (ketertarikan itu) ala kadarnya oleh wakil dari PPP (lihat tayangan TV ONE pagi, Minggu 5 Oktober 2014).Menjadi deklarasi tersirat jika apapun reaksi antar kubu ditanggapi sedingin yang ada. Menjadi penguat jika konstelasi politik bangsa memang terbelah menjadi dua arah.
SBY bersama partainya yang sejak awal mati-matian mengabarkan untuk berposisi penyeimbang, menjadi semakin dibuat tidak jelas posisi kepastiannya, paska UU Pilkada. Segala aksi dan statemen yang muncul dari beliau selalu dimentahkan dengan analisis dan paradigma-paradigma. Saya yang termasuk yang melihat ini bukan gegara UU Pilkada. UU ini hanyalah alasan antara saja untuk membunyikan kepengapan idea yang kebetulan ada kesempatan tersalurkan, ya lewat UU Pilkada ini. Berbagai hastage media sosial menyuburkan kegeraman seakan semakin mentradisikan buramnya image sosok pemimpin bangsa paska turun tahta.
Mengapa tidak memberi semangat ke keduanya untuk lincah bermain dalam wahana ketaatan aturan? Mengapa selalu beralibi jika rakyat telah kalah? Ruang untuk membela rakyat di negeri ini sebegitu terhamparnya. Risih dengan aturan negara ada MK, takut, terancam, dan terhina, sudah ada institusi yang menjaga. Biarkan rakyat melihat suasana politik ini. Mereka akan turun jika ada yang melanggar aturan negara, itupun dengan segala prasyarat ketat untuk melibatkannya.
Jangan melihat kalah dan menang, apalagi mengkorelasikan kekhawatiran langkah ke depan. Jangan pula ingin selalu menang dan mengalahkan, apalagi dengan niatan untuk balas dendam.
Dicari, jasa rekonsiliasi untuk menjembatani sumirnya opini-opini. Bukan malah mengajak dan meliukkan wacana. Maka, dicari kekokohan niat dan kesungguhan hasrat untuk berdiri menjadi rekonsiliator. Menyapa segala beda dengan ketinggian gaya bak kesatriya. Semakin cepat ketemu jasa rekonsiliasi, semakin cepat negeri ini berlari. Semakin banyak yang mau mengajukan diri menjadi jasa rekonsiliasi, semakin tampak kedewasaan penghuni negeri.
Lebih hebat lagi, jika tanpa mengajukan diri sudah bergerak untuk memulai menjadi seorang rekonsiliator, dengan sembunyi-sembunyi! Dicari...
Kertonegoro, 5 Oktober 2014
Ilustrasi : kupang.tribunnews.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H