Lihat ke Halaman Asli

AKHMAD FAUZI

TERVERIFIKASI

Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

Membaca Tahun

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1419608398210068040

Bagian 1



Kultivasi jiwa seharusnya menjadi deret hitung dari milyaran knops hasrat. 365 hari hanyalah prakiraan waktu untuk meraup beban, sejatinya yang terjangkau tak lebih dari sekali nafas panjang kelegaan. Bukan senyum diri yang semestinya dipuja sebagai prestasi, tetapi ekspresi wajah-wajah sekitar kita, seperti apa bentuk rupanya.

Membangun niat, seperti halnya menyulut sumbu hulu ledak. Kemana moncong picu akan diarahkan. “Hai semua jiwa, lihat lekuk biji bola mata ini. Adakah ada disebagiannya yang merindukanmu? Kalau ternyata harus menguras derai air mata, bantu aku untuk mengangkat moncong itu agar mengarah tepat di pelipis hati sendiri!”. Sayangnya, teramat jarang dialog niat itu terlaksana dalam mengurai gelisah. Mengulum nikmat hasil membutakan kepekaan yang dimiliki.

Membaca tahun seperti mengurai jumpalitannya nadi gairah. Ada yang tercecer, ada yang terlalu jauh melangkah, ada yang sekadar bersimpuh di sudut pengharapan. Jangan pernah bergembira atas bangunan yang baru ditegakkan. Lihat jarak limbah pembuangan dari batas dinding tetangga. Semakin berani mengakui besaran eksesnya, menampakkan kematangan niat untuk menjaga wibawa bangunan kita. Bukan berapa banyak sumpah serapah teriakan tetangga yang menjadi sebab kebisingan hati, tetapi seberapa sering kita menahan tangis atas khilaf diri.

Enam hari lagi kita akan melihat tahun berganti. Rupa-rupa sejarah cerita akan terkuak sepintas untuk diambil makna. Bukan lengkingan terompet yang harus dibeli, karena dalam membaca tahun yang terpenting adalah “sebaiknya”, bukan “andaikata”. Diri, bagian terkecil dari unsur yang mesti terbaca, lebur dalam besarnya faedah yang pernah direka!

Membaca tahun tidak harus di akhir bulan terakhir, karena ajal tidak mengenal tanggal. Dan, teriakan tetangga tidak saja karena kita salah! Tetapi, agar kita tidak terlalu sering terperangah jika mereka ada, bersama kita. Membaca tahun, sejatinyakeisengan menunggu ajal!

Kertonegoro, 26 Desember 2014

Ilustrasi : blog.republika.co.id




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline