Lihat ke Halaman Asli

AKHMAD FAUZI

TERVERIFIKASI

Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

Membaca Tahun = Memanggil Kematian

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1419782977838652088

(Bagian 3)



Sekitar 10 hari lalu, selepas isya’, saya dan anak istri berkesempatan ngrumpi di teras depan rumah. Tumben bahasa jawanya, karena teramat jarang kami lakukan. Maklum saja, jarak teras dengan jalan besar hanya selisih 5 meteran, jelas bukan tempat yang nyaman untuk melepas sapa dan bercengkerama setelah seharian beraktifitas sendiri-sendiri. Tema diskusi saat itu (kebetulan) tentang kiamat, ekses dari suasana hari ini yang terus di guyur hujan deras. Apalagi akan menjelang peringatan 10 tahun Tsunami Aceh. Karena tema ini terlalu berat, maka saya memaksa anak-istri untuk menjadi pendengar saja. Panjang lebar saya uraikan segala wacana tentang kiamat yang pernah saya baca. Ujungnya adalah mengharap ke Tuhan agar anak cucu saya terselamatkan dari fitnah Dajjal. Sedikit berat saya sampaikan ke mereka, jika sangat merugi bagi orang yang hidup sejaman dengan si laknatullah ini.

“Kalau begitu, sebaiknya mati saja ya Pa, dari pada harus bertemu dengan dia...?”, kritis sulungku. Senyap, tak ada jawaban. Hujan semakin deras, memaksa kami berlima masuk rumah. Pintu tertutup, serapat itu pula hati ini untuk berkehendak menjawab tanya sulung saya.

Bukan itu maksudnya, Nak. Bertemu Dajjal memang lebih banyak kenistaan dalam menapaki hidup selanjutnya. Namun, mati pun bukan hal mudah untuk diterima. Di tengah malam aku jawab sendiri, sisa dari tanya tadi.

Jujur saya sampaikan, judul di atas sebenanrnya bukan bagian ke-3 dari rangkaian tulisan “membaca tahun” saya. Hanya karena tragedilah, rasanya untuk seharian ini sampai (minimal besoka pagi) tulisan yang pas diposting adalah tentang kesedihan, termasuk kematian.

Tragedi Air Asia memicu banyak analisa, seperti kebiasaan kejadian yang sudah-sudah. Semua tulisan berlomba untuk lebih up to date dalam memilih bahan dan ulasan. Sudut pandang uraianpun segaris dengan karakter dasar yang dimiliki. Menjadi kewajiban kita sebagai pembaca untuk menatap puluhan analisa itu sebagai bentuk empati yang utuh atas kejadian yang menimpa saudara sebangsa ini.

Kematian ataukah hidup bersama Dajjal? Dua item yang sejatinya sama-sama mati. Mati secara kodratiah (dan) ataukah mati secara bathinyah? Dua episode hidup yang sama kuatnya untuk tidak diinginkan.

Aku belum berani menjawab pertanyaan putri saya itu, sampai kini. Walau sudah hampir sepuluh hari. Momen tragadi tadi siang inginnya saya jadikan pintu masuk untuk menuntaskan jawaban saya. Rupanya tak sampai hati juga saya memulai jawaban tentang kematian ini dengan milih seting anak tangga tragedi siang tadi.

Yah, Nak, kematian memangmisteri. Jangan diminta apalagi dicari. Jangan dipaksa, walau besok Dajjal ada! Yang sering aku baca, mati, bukan berat dalam kejadiannya, tetapi gelisah untuk mengumpulkan bekalnya.

Setidaknya, aku sudah memberikan pondasi ke mereka, keluarga saya, jika mati itu ada! Dan tidak perlu dipanggil atau undang sedemikian rupa. Karena membaca tahun sejatinya menulis satu kata untuk menutup cerita. Membaca tahun, semuanya mahfum jika akan semakin berkurang kesempatan untuk membaca catatan yang lebih lagi. Membaca tahun adalah bahasa halus dari memanggil hati untuk meyakini jika ketika tahun telah berganti, berarti telah mendekat akhir mimpi...!

Untuk yang tertimpa petaka pesawat Air Asia, memang berat merasakan fakta kajadian ini. Sungguh, mengharap ada prospek kehidupan atas sanak handai taulan, tetap patut untuk terus ditumbuhkan, lebih-lebih negara tidak main-main dalam menangani kejadian ini. Banyak motivasi yang menuliskan jika hal yang terindah adalah ketika tertimpa musibah ini adalah mengembalikan hidup pada Pemilik kehidupan, karena akan lebiih memicu lahirnya ketenangan. Entahlah.

Semoga kita mampu memetik nilai-nilai yang dititpkan Tuhan dalam musibah ini. Membaca musibah ini sebagai takdir adalah bagian kecil dari kita membaca tahun. Membaca tahun adalah garapan besar kita untuk meletakkan di posisi yang benar akan makna kematian. Roshululloh sendiri sering mengingatkan kita untuk selalu mengingat kematian.

Prihatin yang mendalam, semoga keluarga dan bangsa ini tabah menerima tragedi yang ada. Hasbiallah wanikmal wakil...

Kertonegoro, 28 Desember 2014

Ilustrasi : harestya.wordpress.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline