Lusa, semua kembali ke sekolah, yuk belajar kembali. Reguk kenang masa liburan, ambil sisi positifnya lemparkan kembali yang kurang bermanfaat ke tempatnya. Jadikan liburan ini me-reset kembali gairah impian yang pernah tertancap di hati. Rasanya dua minggu waktu yang sempit untuk istirahat. Kenang kembali sentuhan-sentuhan selama “belajar” di luar sekolah. Cerna sebaik mungkin setiap senyum dan rona wajah, wajah dunia. Rangkai dengan pragmatisnya teori di bangku sekolah. Selanjutnya, sisir yang terbaik untuk karakter diri. Yuk, kembali ke sekolah dengan binar wajah karena telah bisa membelah dunia.
Untaian kata tadi mungkin terasa pas untuk konsumsi siswa. Anak didik yang masih melugu pada petuah guru. Bisa juga menjadikan tutur petuah orang tua yang semirip dengan itu. Semua untuk anak, yang masih “diangap” hijau menelan paradigma.
Pertanyaannya, perlukah (juga) petuah untuk konsumsi orang tua? Jawabnya tegas, "perlu!!! Sangat perlu dan mulai dibudayakan selalu perlu".
Menteri Perhubungan kepada AirAsia, memberi petuah walau lebih kental rasa marahnya. Menteri pun balik didamprat pilot dengan alasan terlalu “ramai” dan tergesa-gesa. Presiden memberi petuah kepada lembaga-lembaga sosial dengan kebijakan menghentikan subsidi bantuan. Lembaga sosial membantah dengan mengatakan, (kurang lebih intinya) “Bapakku tega...!?”. Yang lain ikut bersuara saling menyahut untuk berpetuah. Negara rimbun dengan aneka warna petuah. Saling menyahut dan saling berebut.
Ternyata yang dewasapun patut untuk “libur”, mensenyapkan agenda-agenda. Kemudian belajar kembali. Belajar menempatkan yang salah, mendirikan yang benar. Belajar merayu amarah, belajar membaca sejarah. Belajar mendekati, belajar saling mengerti. Belajar melenyapkan benci, belajar mengeja kasih. Belajar menghitung ukuran kehancuran, belajar menumbuhkan nilai-nilai kebermanfaatan.
Yuk para orang tua, manusia dewasa. Lusa anak-anak kita masuk sekolah. Kita yang menjaga mereka, maka harus pula menjaga wibawa. Agar petuah kita bernas terasa. Tinggikan wibawa anda dengan selalu terus belajar pula. Jika anak kita yang salah, itu lumrah. Jika kita, yang dewas, yang salah, bisa menjadi petaka, bagi mereka!
Salam Pendidikan, untuk seumur-umur!
Kertonegoro, 3 Januari 2015
Ilustrasi : otaksegar.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H