Lihat ke Halaman Asli

Aceh dan Jilbab Besar

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika pertama kali melihat wajah keluarga di Aceh melalui foto yang dibawa suami saya, hati saya takjub dengan jilbab besar yang dikenakan oleh famili kami yang perempuan. Subhanallah! Tapi waktu itu saya berpikir hal itu dikarenakan pengaruh suami saya yang tamatan pesantren . Namun, ketika bulan kemarin untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di bumi rencong, tahmid itupun tak lepas-lepas meluncur dari lisan saya. Dimana-mana saya menjumpai ibu-ibu berjilbab kaos besar-besar. Hati saya tersaput syukur yang tak habis-habis.

Aceh memang beranjak melaksanakan syariat Islam. Dimana-mana dijumpai pesan untuk melaksanakan ajaran agama. Di toko-toko pakaian, aneka jilbab besar dengan beragam model dan warna menarik untuk dipilih. Sebuah pemandangan yang susah dijumpai di Jawa dimana jilbab besar semakin jarang dan kurang diminati. Harganyapun tidak mahal, berkisar 20 ribuan lebih sedikit. Di jalan-jalan mata ini tak lepas dari pemandangan ibu-ibu berjilbab besar dan sarung Aceh yang khas.

Gema Aceh sedemikian membahana. Selama hampir tujuh tahun pernikahan saya dengan pemuda Aceh, baru sekarang inilah saya berkesempatan menyaksikan sendiri negeri Serambi Mekkah ini. Masa konflik dan tsunami adalah masa-masa kelam dalam sejarah Aceh, tapi sekarang kedamaian dan ketenangan menjadi peletak dasar pembangunan di sana. Dan geliat untuk melaksanakan syariat Islam semakin kuat. Meskipun pemerintah yang berkuasa berasal dari partai sekular, namun tidak mampu membendung hasrat rakyat nanggroe untuk kembali kepada Islam. Salah satunya adalah dengan identitas keIslaman melalui pakaian yang menutup aurat. Papan-papan berisikan seruan untuk menutup aurat bertebaran dimana-mana, terutama di masjid-masjid. Bahkan ketika saya berkunjung ke masjid raya Baiturrahman Banda Aceh, mata saya tak mampu membendung aliran air di dalamnya. Pengemis-pengemis yang menadahkan tangan berharap belas kasihan pun turut larut dalam munajah kepadaNYA ketika seruan sholat berkumandang. Mereka sembahyang di pelataran masjid, di atas kursi roda, di atas sehelai sajadah tua yang di hamparkan di antara lalu lalang orang.

Adalah pesan bagi kita semua, bahwa untuk melaksanakan perintah Allah tidak harus meminta ijin kepada penguasa. Hasrat rakyat untuk kembali kepada Islam jauh lebih kuasa dibandingkan kekuatan penguasa.

Subhanallah!

Pun ketika peringatan 1 Muharram lalu, ratusan muslimah turun ke jalan mendemonstrasikan berkendara dengan berpakaian Islami. Mereka ingin menunjukkan bahwa berpakaian yang sesuai tuntunan Islam tidak menghalangi seorang wanita untuk mengendarai motor. Jilbab mereka yang berwarna-warni menambah cantik parade hari itu.

Ah, Aceh. Bersegeralah menjemput takdirmu. Kejayaanmu di masa lalu bukanlah sekedar untuk menjadi nostalgia dan cerita kebanggaan yang akan diwariskan turun temurun dalam dongeng pengantar tidur anak-anak. Ada amanah besar untuk ditunaikan. Tegakkan mihrabmu dan luruskan shafmu. Ridla Allah takkan beranjak meninggalkanmu…

Kembara Pijay, 21 Des’09 - 6 Jan’10




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline