Bagi para pecinta sejarah pasti tahu bahwa Sumpah Pemuda yang terjadi pada 28 Oktober 1928 tidak terjadi pada ruang hampa.
Mereka berkumpul dan akhirnya Muhammad Yamin memberikan konsep ikrar bagi para peserta konferensi kepemudaan, bukanlah satu kebetulan. Para pemuda itu sudah merasakan bagaimana bangsanya terinjak dan tidak berdaya karena penjajahan Belanda.
Pemerintah Belanda telah mengambil alih kekuasaan atas Hindia Belanda dari VOC yang hancur karena korupsi dan berbagai perang di Hindia Belanda. Disebutlah salah satunya yaitu perang Diponegoro yang menguras energy dan kas VOC sehingga perusahaan itu bangkrut.
Ditambah saat itu revolusi industri berlangsung di Eropa dan Belanda harus bersaing dengan negara Eropa lain (juga China) untuk tetap dihormati, sehingga pemerintah Belanda perlu dana yang tidak sedikit.
Lalu muncullah Cultuurstelsel (Cultivation Sistem) atau disederhanakan sebagai Program Tanam Paksa pada tahun 1835 sampai 1870. Sistem itu mewajibkan para pemilik tanah menanam beberapa tanaman yang laku dan berharga tinggi di pasar ekspor dunia, seperti kopi, kopra, tembakau, gula, cengkeh, teh dan beberapa komoditas lain.
Hasilnya harus dijual ke Belanda dengan harga murah. Bagi rakyat yang tidak punya tanah, mereka diwajibkan untuk mengelola tanah milik perkebunan Belanda dan pekerjaan lain tanpa dibayar (kerja rodi).
Kebijakan Cultuurstelsel sangat kejam dan menyengsarakan rakyat Indonesia melebihi zaman VOC, karena mereka melakukan pekerjaan tanpa dibayar dan dianggap sebagai budak. Banyak rakyat yang kelaparan, sakit dan meninggal. Mayat-mayat ergelimpangan di Jawa Barat dekat perkebunan dan di banyak wilayah.
Lalu muncul kritik keras atas sistem itu dan tanam paksa berakhir dengan munculnya UU agrarian dan UU tentang gula pada tahun 1870. Momentum itu mengawali era liberalisasi ekonomi dalam sejarah penjajahan Indonesia.
Para anggota parlemen Belanda mengecam kebijakan tanam paksa yang menyengsarakan rakyat Hindia Belanda dan menyarankan politik etis sebagai kompensasi atau balas budi.
Pemerintah Belanda kemudian membuka sekolah-sekolah, termasuk sekolah ongko loro yang ditujukan bagi para pribumi yang tidak punya pangkat atau jabatan (misalnya anak bupati atau wedana, atau karyawan pemerintah Belanda).
Beberapa orang yang punya pangkat dan jabatan baik di kerajaan lokal maupun di pemerintahan lokal dapat mengenyam pendidikan yang lebih baik dari ongko loro, seperti HBS, NIS, Mulo dll.