Lihat ke Halaman Asli

Tias Anatasya

always be kind

Ketika Aku 17 Tahun: Broken Home

Diperbarui: 16 Februari 2021   06:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

H-200 UTBK

              Suara alarm berbunyi dengan keras. 'Kriiingg kriiingg'

 "Widi!! Bangun! Ini Ibu udah bikinin sarapan buat kamu." Teriak Ibu sambil mengetuk pintu kamarku.

"Iya Bu, bentar Widi ke air dulu." Jawabku.

              Bagiku, Ibu adalah manusia terbaik di dunia. Terlebih lagi karena aku sudah tidak punya ayah. Ayahku meninggal ketika aku duduk di bangku kelas 2 SMP. Saat itu, selama hampir 1 bulan aku selalu bersedih dan tidak ada hasrat untuk belajar. Tapi berkat Mentari, sahabatku, aku akhirnya bisa keluar dari lingkaran hitam yang mengelilingiku itu.  

              Ibuku menjadi orang yang paling aku sayangi di dunia. Tapi terkadang di situasi tertentu, ia bisa menjadi orang yang paling aku benci.

              Sejak SD sampai saat ini, aku selalu menjadi juara pertama di kelas. Apalagi di mata pelajaran Matematika, aku bahkan pernah menjuarai beberapa perlombaan matematika tingkat provinsi juga nasional. Tapi sebenarnya, jika kamu berkata atau bertanya kepadaku 'wah kayanya kamu suka banget matematika ya?' aku pasti akan menjawab dengan lantang TIDAK. Bahkan sebaliknya, aku sangat membenci Matematika.

***

"Wid, Ibu denger dari Pak Sam. Katanya bentar lagi bakalan diadain olimpiade matematika, kamu harus ikut ya!" Kata Ibu dengan bahasa yang sangat ramah.

"Tapi Bu, di waktu yang sama juga ada lomba Fotografi. Aku udah daftar lomba itu kemarin." Ucapku.

              Ibu yang ketika itu menunjukkan ekspresi yang ramah kepadaku, seketika berubah 360 derajat menjadi sangat marah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline