Lihat ke Halaman Asli

Yang Tersisa dari Hujan

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku beranjak menutupi pintu. Sebelah tanganku memegang kenopnya.

"Sabarlah dulu. Nikmati sehirup dua hirup capuccino buatanku!" pintaku

Dia tak menjawab. Tapi masih saja berdiri terpaku.

"Lihatlah hujan itu masih merinai. Kamu kan gak bawa mantel, naik motor di hujan deras seperti ini bisa membuatmu sakit!" kataku sambil menyibak gorden jingga bermotif winnie the pooh.

Kali ini dia mengalah. Tapi duduknya tak jua tenang. Sesekali masih diliriknya swatch di tangan kirinya. Setengah usahaku berhasil. Aku menahan bahagia, walau senyum tipis merupa di bibirku.

Aku beranjak dan duduk di hadapannya.

"Mau kubuatkan yang lain. Mie rebus mungkin? Untuk sekedar menahan lapar," kataku.

Sambil berkata itu sesungguhnya aku menyesal. Aku hanya bisa membuat masakan yang instan saja. Padahal masakan buatan ibuku terkenal maknyus. Dan saat ibuku pergi ke bandung, dua hari ini praktis aku hanya makan mie dan telur ceplok saja.

"Eng.. Kalau tidak merepotkan, bisa buatkan aku bandrek. Aku gak tahan kalau minum kopi. Magku kadang kumat," kata Dimas.

Suara yang aku tunggu. Tapi sumpah, aku gak bisa bikin bandrek. Maka aku tak menjawab.

"Winda gak bisa buat ya. Tidak apa-apa. Aku boleh buat sendiri kan? Tadi aku lihat ada banyak jahe di dapur," lanjutnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline