Percaya merupakan salah satu aspek dasar dalam hubungan sosial manusia, kepercayaan memiliki peran penting dalam membentuk hubungan yang sehat dalam psikologis individu. Namun, ketika seorang anak perempuan mengalami fatherless, yaitu kehilangan figur ayah dalam kehidupannya, dampaknya terhadap pola kepercayaan dapat menjadi signifikan. Fatherless baik sebab pemisahan, perceraian, atau kematian, dapat mempengaruhi perkembangan kepercayaan pada anak perempuan secara luas.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa Indonesia menyandang sebagai salah satu fatherless country dengan peringkat cukup tinggi. In case, fatherless ini bukan hanya soal yang secara harfiah anak-anak tidak memiliki sosok ayah, secara kasat mata ada, namun mereka kehilangan figure seorang ayah. Kendatipun, tidak dijelaskan hasil dari penelitian apa klaim tersebut didapat, namun isu fatherless ini mengajak masyarakat untuk mempertanyakan ulang, peran ayah dalam keluarga, khususnya pada moment tumbuh kembang anak.
Dalam konteks ini, anak perempuan menghadapi tantangan dalam membentuk dan mempertahankan kepercayaan interpersonal yang sehat. Ketidakadilan yang mungkin mereka rasakan, hilangnya figur ayah sebagai panutan dan sumber dukungan emosional, serta perubahan dinamika keluarga dapat berkontribusi terhadap terjadinya masalah kepercayaan. Ketika seseorang tumbuh tanpa figur ayah, mereka mungkin akan mengalami kekosongan emosional.
Apabila sosok ayah tak melengkapi apalagi dalam kehidupan seorang anak perempuan, dikhawatirkan hal ini dapat berpengaruh terhadap keraguan atas kemampuan dan value dirinya. Beberapa diantara impact-nya, pertama kemampuan ia mempercayai orang lain dengan mudah, terutama pada hubungan percintaan atau persahabatan, kedua mereka akan mengalami ketidakpastian tentang potensi mereka, ketiga akan berdampak pada rendahnya harga diri (self-esteem) ketika ia dewasa, yang disertai pula oleh rendahnya kontrol diri (self-control).
Selain mudah menaruh kepercayaan, sebagian dari mereka memiliki tingkat trust issue yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang merasakan kehadiran sosok ayah secara utuh. Mereka mungkin lebih skeptis terhadap niat dan motivasi orang lain yang tentunya membutuhkan waktu lebih lama untuk membangun kepercayaan interpersonal yang lebih jauh.
Maka dari itu perlu diingat , bahwa keterlibatan orang tua dalam pengasuhan ialah pondasi utama bagi tumbuh kembang fisik-psikis seorang anak, tak hanya seorang ibu, namun juga ayah. Bukan hanya dukungan finansial yang mereka butuhkan, tetapi juga emosional.
Penempatan posisi ayah (di ruang publik) dan ibu (di ranah domestik) yang masih belum dipahami secara komprehensif turut melemahkan posisi keduanya. Selain budaya patriarki, sangat disayangkan, di negara kita keterlibatan seorang ayah dalam pengasuhan masih menjadi hal tabu bagi sebagian besar masyarakat. Padahal, ayah dan ibu memiliki peranan masing-masing dalam pengasuhan. Jika ibu mengajarkan tentang pendewasaan emosi, empati, dan nilai-nilai kasih sayang, maka ayah dapat mengajarkan tentang logika, keberanian, dan kemandirian. Sisi feminin dan maskulin ini dapat membentuk anak menjadi pribadi yang utuh.
Syaikh Wahbah Az-Zuhayli dalam tafsirnya menguraikan bahwa perintah tauhid adalah hal paling utama yang harus ditanamkan orangtua khususnya ayah, pada anaknya sebelum ilmu-ilmu lain. Melalui tauhid yang benar, seorang anak akan mengetahui darimana ia berasal, apa tanggungjawabnya sebagai seorang hamba, bagaimana ia harus berlaku sebagai seorang hamba, termasuk kewajiban memuliakan kedua orangtua. Setelah menanamkan pondasi tauhid, nasihat kedua yang diajarkan Luqman dan bisa diteladani oleh seluruh orangtua adalah pentingnya menjaga adab dan budipekerti pada kedua orangtua (QS Luqman: 14-15).
Sehingga, keliru jika ada yang mengatakan bahwa ibulah satu-satunya yang harus mengajarkan ilmu pada anaknya sementara, Al Quran justru memberi teladan melalui nasihat Luqman.
Semoga Allah jaga kita semua di atas ketaatan. Allahumma bareek..
Tertanda, saudarimu Tiara.