Penayangan film dokumenter oleh prodi Film dan Televisi, Fakultas Pendidikan Seni dan Desain di Universitas Pendidikan Indonesia berhasil mengundang tangis penontonnya. Penayangan film ini dilakukan dalam event EXPDIFF (Expression Different) 2.0 dengan tema Different Perspective of Us yang diselenggarakan oleh Fakultas Pendidikan Seni dan Desain (FPSD) UPI.
Selain screening film, juga diadakan pameran foto di sepanjang lorong auditorium serta penampilan live music pada malam harinya. Dengan diadakannya pameran ini diharapkan setiap orang dapat mengekspresikan seni dengan bebas, sesuai prespektif masing-masing individu yang menikmati seni.
Film dokumenter adalah film nonfiksi yang merekam suatu kenyataan berisi informasi asli dari sebuah peristiwa yang disajikan kepada penonton. Namun, pada mahakarya dengan judul Sintas Berlayar oleh mahasiswa prodi Film dan Televisi UPI ini begitu bernyawa sehingga mampu mengundang tangis orang-orang yang menontonnya.
Film ini menceritakan seorang nelayan disabilitas bernama Pak Uus yang tidak kehilangan semangatnya menyambung hidup. Pak Uus memiliki trauma mendalam saat kecelakaan pada 13 Juni 2007 yang menyebabkan beliau kehilangan satu kakinya, seorang sahabatnya bahkan diceraikan oleh mantan istrinya.
Namun, keadaan tersebut tidak membuat beliau menyerah dalam menjalani kehidupan. Pak Uus kemudian mempunyai keluarga kecil baru yang membuat beliau tetap bersemangat mengarungi lautan dengan kaki palsunya. Hal yang paling menyentuh dalam film dokumenter ini adalah pada saat istri pak Uus mencemaskan suaminya ke laut. Ia mengatakan bahwa takut terjadi hal tak diinginkan kepada suaminya saat terjangan badai ditengah cuaca yang buruk .
Selama beberapa hari melaut ia tidak mengetahui apakah nanti suaminya akan pulang dalam keadaan selamat atau tidak terlebih dengan keterbatasan kondisi suaminya. Tak sedikit pula, yang menyebutkan suaminya sebagai nelayan buntung yang meskipun orang-orang dengan niat bercanda namun tetap mengiris hatinya.
Berbeda dari film dokumenter lainnya, film ini penuh emosi dapat dilihat bagaimana tokoh film dokumenter menyampaikan kisahnya dengan penuh haru. Selain itu, dibalik kisahnya ada hal yang paling menarik perhatian saya yaitu sinematografi dan penempatan sudut pandang kamera terhadap objek sangat indah. Seluruh set pada film menampilkan kesan yang hangat sehingga nyaman dipandang mata. Sang sutradara Firgiawan, mengangkat isu ini terinspirasi dari kasus pencurian ikan oleh kapal asing di laut Natuna.
Dari kasus tersebut, dia ingin mengetahui dan menyajikan bagaimana sudut pandang kehidupan nelayan di Indonesia. Film ini juga terpilih sebagai pemenang program Apresiasi Film BFIA 2022 kategori film dokumenter pendek.
Menurut penulis secara keseluruhan film ini sangat bagus, ada banyak pelajaran yang dapat dipetik setelah menonton film ini. Salah satunya yaitu, meneladani sikap pantang menyerah pak Uus ditengah keterbatasan dan kekurangan yang dimilikinya. Sebagai generasi muda dengan segala kemudahan dan kelengkapan fasilitas hendaknya kita memiliki semangat lebih, pantang menyerah serta melakukan yang terbaik dalam kehidupan. Senantiasa bersyukur dan menerima diri sendiri baik kurang atau lebihnya karena Tuhan memang menciptakan kita berbeda-beda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H