Lihat ke Halaman Asli

Mimpi : Tak Perlu Menjadi Dokter untuk Menolong Orang Lain

Diperbarui: 30 Desember 2015   15:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perkenalkan, namaku Tiara. Sekarang aku adalah seorang mahasiswi psikologi semester 3 di Universitas Negeri Jakarta. Banyak cerita dibalik perjuanganku untuk bisa menjadi seorang mahasiswa. Perjuangan itu dimulai saat aku masih duduk di bangku SMA. Awalnya, aku memiliki cita-cita dan sangat ingin menjadi dokter. Aku juga tidak tahu pasti alasannya karena apa, apakah karena dorongan dari orangtuaku atau murni keinginanku dari dalam hati. Aku hanya tahu bahwa jika aku menjadi dokter, nantinya aku akan bekerja di rumah sakit, menolong orang yang membutuhkan, dan belajar banyak mengenai biologi dan anatomi tubuh manusia dan aku suka dengan pelajaran biologi dan anatomi tubuh.

Ya, mungkin karena waktu itu aku masih di usia peralihan dari remaja menuju dewasa dan emosiku juga masih cukup labil, jadi aku belum mampu menentukan dengan pasti alasannya. Saat kelas 1 SMA menuju kelas 1, aku juga memutuskan untuk memilih jurusan IPA agar bisa menjadi seorang dokter. Selama menjalani hari-hariku menjadi anak jurusan IPA, aku terkadang menghadapi kesulitan di mata pelajaran yang cukup krusial untuk anak IPA, yaitu matematika, namun aku terus berusaha belajar menyukainya dan mempelajarinya dengan belajar bersama dengan teman-temanku yang lebih mahir dalam matematika. Menjelang UN, aku dan teman-teman yang satu jurusan juga lebih sering belajar bersama dan lebih intensif mengikuti bimbingan belajar. Tryout dan latihan simulasi UN bukan hal yang asing lagi bagiku dan teman-teman pada saat itu. Saat semangatku mulai menurun dalam menghadapi UN, teman-temanku saling menyemangati dan saling mengingatkan akan cita-cita kami bersama yang ingin lulus UN. Dan saat hari H UN, Alhamdulillah satu angkatan di sekolahku lulus 100%. 

Namun, perjuanganku tidak hanya berhenti disitu. Aku harus tetap belajar untuk mengikuti tes masuk perguruan tinggi sambil menunggu pengumuman SNMPTN. Tentunya aku memilih jurusan kedokteran UNPAD dan UI. Aku yakin sekali akan lolos SNMPTN di salah satu universitas itu karena usahaku yang sudah maksimal, siang malam belajar, weekend-pun aku juga belajar dan belajar bersama teman-temanku dan konsultasi dengan mentor di bimbel, pokoknya sangat sedikit waktu yang kuluangkan untuk bersantai. Namun, mungkin usahaku belum maksimal di mata Allah, aku tidak lolos SNMPTN. Saat itu, aku sangat kecewa, sedih, dan aku merasa masa depanku akan kacau. Memang terdengarnya berlebihan, namun kenyataannya itulah yang kurasakan saat itu. Orangtuaku tak hentinya memberikan support secara finansial dan juga psikologis kepadaku untuk terus berjuang masuk PTN, mereka mendukungku unntuk mengikuti berbagai macam tes ujian masuk PTN.

Semangatku kembali terpacu untuk terus belajar dan saat semangatku menurun, aku mengingat kembali tentang orangtua, tentang harapan dan pengorabanan mereka untukku. Setiap tes masuk PTN yang aku ikuti, aku selalu memilih jurusan kedokteran sebagai pilihan pertamaku. Sudah ada 7 tes masuk PTN yang aku ikuti, tidak ada satupun yang lolos. Saat itulah aku merasa bahwa it’s my lowest point of life. Aku tidak mau bertemu dengan teman-temanku yang sudah mendapatkan PTN, aku mengurung diri di rumah untuk belajar namun terkadang sesekali aku menangis kenapa aku bisa ada di kondisi sesulit itu. Aku sangat putus asa pada saat itu dan seolah-olah semua temanku menjauhiku dan lupa padaku karena mereka sudah mendapatkan apa yang mereka cita-citakan dan sudah memilih jalan hidup mereka masing-masing, padahal sebenarnya tidak sepenuhnya begitu, aku juga yang menjauhkan diri dari mereka karena aku merasa malu belum mendapatkan PTN dan jurusan yang kuinginkan. Teman-temanku terus memberikan semangat padaku agar terus berusaha dan berdoa agar diberikan yang terbaik oleh Allah. 

Aku pernah mendengar kata-kata salah seorang ustadzah, jika kita gagal melakukan sesuatu, kita harus berusaha dan berusaha lagi, dan biasanya kita “wajar” mengalami kegagalan bahkan hingga tujuh kali pun. Aku ingat sekali kata-katanya saat itu, dan setelah kuhitung-hitung aku sudah tujuh mengikuti tes masuk berbagai PTN namun tak satupun yang berhasil lolos. Dan akhirnya aku bertekad untuk mengikuti tes masuk PTN berikutnya dan berharap tes ini menjadi tes yang terakhir kuikuti.

Aku “banting stir” untuk memilih jurusan psikologi sebagai pilihan pertama, karena di UNJ tidak ada jurusan kedokteran dan aku pikir jurusan itulah yang mendekati ke bidang kedokteran karena yang aku tahu psikologi itu mempelajari tentang manusia juga. Saat itu, tanggal 18 Agustus 2014 adalah pengumuman hasil tes Penerimaan Mahasiswa Baru UNJ (Penmaba UNJ), tes yang aku ikuti. Aku menunggu hingga tengah malam dan saat aku membuka hasilnya di internet, Alhamdulillah aku lolos dan masuk jurusan psikologi. Saat itu, aku langsung melompat dari tempat tidurku dan pergi menuju kamar tidur orangtuaku. Kuketuk pintu kamar mereka, mereka terheran-heran kenapa anaknya ini histeris di tengah malam seperti itu. Saat kutunjukkan hasilnya, orangtuaku juga senangnya bukan main.

Aku bisa melihat mata ibuku yang berkaca-kaca dan ayahku yang tersenyum lebar. Ya aku akui, malam itu aku membuat heboh seisi rumah. Keluargaku memberikan ucapan selamat kepadaku dan tak hentinya untuk mengucap syukur. Aku langsung menunaikan sholat Tahajud dan hingga pagi hari aku tidak bisa tidur karena kabar itu. Pagi-paginya, handphone ku langsunng dipenuhi dengan ucapan selamat atas keberhasilanku lolos tes ujian Penmaba. Bahkan salah satu sahabatku, Riri, mengirimkan voice note lewat BBM sambil terharu. Pokoknya, hari itu merupakan salah satu hari paling indah yang pernah kurasakan karena aku bisa membuat orang-orang disekitarku bahagia melihat keberhasilanku.

Perjuanganku ternyata belum berkakhir juga. Sebagai mahasiswa baru, tentunya banyak kegiatan yang harus kuikuti seperti ospek dan ikut kepanitiaan di kegiatan kampus. Selama menjadi mahasiswi baru psikologi, awalnya aku belum ada pemahaman apapun mengenai psikologi. Kesenanganku di awal saat melihat hasil tesku langsung berubah menjadi kebingungan dan kepasrahan. Ya, saat itu aku memang senang karena lolos tes, tapi jujur, aku senang karena lolos tes masuk PTN nya saja, tapi tidak terlalu senang saat melihat bahwa aku masuk ke psikologi. Aku berpikir bahwa jika aku masuk ke psikologi yang biasanya jurusan itu untuk anak IPS, berarti aku gagal menjadi dokter, tidak bisa bekerja di rumah sakit dan menolong orang, serta tidak bisa belajar tentang biologi dan anatomi tubuh.

Namun setelah hampir satu setengah tahun aku menjalani kehidupan sebagai mahasiswa psikologi, aku mempelajari banyak sekali hal yang selama ini kuragukan. Ternyata, di psikologi, aku tetap bisa mempelajari biologi dan anatomi tubuh manusia, walaupun tidak terlalu mendetail. Aku belajar mengenai hormon dan proses fisiologis seperti apakah yang dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang. Selain itu, seorang psikolog juga dituntut untuk bisa memahami orang lain dan dengan kemampuan itulah seorang psikolog dapat membantu orang-orang dalam menyelesaikan permasalahannya dan sekarang sudah banyak rumah sakit yang membutuhkan psikolog di bidang klinis. Dan ternyata jurusan psikologi sangat fleksibel, bisa mencakup ke berbagai bidang di dunia kerja. Psikologi tidak hanya dibutuhkan di bidang klinis, namun di bidang-bidang lainnya seperti bidang industri, bidang sosial, bidang hukum, dan lainnya. 

Aku akhirnya menyadari dan sangat bersyukur bisa masuk ke jurusan psikologi karena untuk menolong orang yang membutuhkan kita tidak perlu harus menjadi dokter, kita bisa membantu orang dengan cara apapun dan dengan latar belakang pendidikan apapun. Selain itu, aku juga ingin menekankan kepada para pembaca bahwa jika kita memilih atau menentukan suatu cita-cita dan impian yang menurut kita itu adalah terbaik untuk kita, namun apabila itu bukanlah hal yang terbaik di mata Allah, Allah tidak akan memberikannya kepada kita dan begitu juga sebaliknya, apabila cita-cita kita tidak berjalan sesuai harapan dan Allah memberikan kita “alternatif” yang lain yang menurut kita mungkin biasa saja atau tidak baik untuk, namun apabila di mata Allah itu adalah hal yang baik untuk kita, maka Allah akan memberikannya kepada kita dan Allah tidak mungkin memberikan sesuatu yang menyesatkan untuk kita. Cobalah untuk menjalaninya dengan suka hati, selalu berbuat baik kepada orang-orang yang mendukung apa yang kita jalani dan yang berada di sekitar kita, dan yakinlah itu yang terbaik untuk kita. Yakinlah bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan yang tidak mampu dilalui oleh hamba-Nya.         

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline