Lihat ke Halaman Asli

Benarkah Riba Berimplikasi terhadap Inflasi?

Diperbarui: 29 Agustus 2017   14:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Riba. Sebuah istilah sederhana yang tidak asing lagi menyebar luas ditengah masyarakat, menjadi familiar didengar seolah-olah doktrin riba adalah khas yang dibawa oleh Islam. Larangan yang memang berkali-kali dijelaskan dalam al-Qur'an dan Hadis sebagai peringatan bagi setiap orang untuk jangan sampai terlibat didalamnya meskipun hanya sedikit apalagi banyak. 

Permasalahan mengenai riba terus diperbincangan sejak zaman Rasulullah hingga masa kontemporer. Orang sering lupa bahwa hukum larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh seorang Muslim Amerika, Cyril Glasse, dalam buku ensklopedianya, tidak diberlakukan di negeri Islam modern manapun. Sementara itu, orang banyak lupa bahwa di dunia kristenpun, selama satu  milenium, riba tetaplah barang terlarang dalam pandangan teolog, cendikiaawan maupun menurut undang-undang yang ada.

Istilah riba mengindikasikan adanya tujuan syariat dalam mengahapus ketidakadilan dan kezaliman dalam bermuamalat. Seringkali orang yang terseret riba adalah mereka yang mengalami tuntutan ekonomi demi mencukupi kebutuhan primer maupun sekunder agar lebih layak dimata masyarakat. Tuntutan gaya hidup tersebutlah yang menyebabkan mereka habis-habisan mengkontribusikan pendapatnnya untuk membayar hutang piutang maupun jual beli yang mengandung riba. Tentunya hal ini juga dipengaruhi oleh tingkat pemahaman mereka terhadap larangan dan perintah Allah. 

Tingkat pemahaman agama masyarakat terklasifikasi menjadi beberapa kelompok, ada sebagian orang mampu istiqomah menahan dirinya dari pinjaman riba, ada juga sebagian orang yang tidak peduli dan tidak mau tahu mengenai riba, dan yang lebih mirisnya lagi ada sebagian masyarakat yang mengetahui dampak dan hukum larangannya dalam al-Qur'an  akan tetapi tetap melakukan transaksi yang mengandung riba.

Fenomena ini yang biasa terjadi pada masyarakat kita saat ini, dampaknya seolah hanya merugikan si pelaku riba dan tidak memiliki dampak terlalu besar terhadap perekonomian, tetapi tanpa disadari suatu saat akan berimplikasi pada defisitnya perekonomian negeri ini. Hal ini berdasarkan analisis dengan mencermati salah satu ayat dalam al-Qur'an surat al-Baqoroh 276 yang menjelaskan bagaimana  hubungan terbalik yang terjadi antara infaq, zakat, dengan riba.  

Ada sepenggal ayat yang berbunyi " Allah menghapuskan riba dan menyuburkan sedekah"  kalimat tersebut mengindikasikan implikasi fungsi hubungan terbalik dari dua  variabel yakni dimana Infak = F (riba).[1] Fungsi ini jika ditelisik lebih dalam seolah menunjukkan bahwa semakin besar jumlah uang riba beredar di suatu masyarakat maka jumlah infak seseorang akan semakin kecil. 

Dalam suatu masyarakat dimana riba telah begitu merajalela, maka tingkat infaknya akan kecil karena sudah terlilit oleh hutang riba secara continue, bahkan kadang kala berusaha menghindar untuk membayar zakat yang memang merupakan kewajibanya. Pada akhirnya riba akan memperburuk perekonomian secara makro, barang yang tercipta lebih kecil dari uang yang beredar yang kemudian akan mempengaruhi para pelaku ekonomi tingkat mikro. Secara teori return yang diterima dari praktik riba secara jangka panjang akan menghadapi risiko inflasi. 

Secara individu bunga menyebabkan kekayaan pemodal meningkat , namun secara kolektif akibat inflasi yang terjadi adalah pemiskinan masyarakat dengan ekonomi lemah. Atas dasar pelarangan riba tersebut maka Islam menawarkan solusi bagi pelaku ekonomi menggunakan sistem bagi hasil. Sistem ini berdampak cukup baik bagi pertumbuhan ekonomi.  Dimana uang yang di gunakan untuk pinjaman tidak mengandung eksploitasi dan resiko bagi para nasabahnya, jika uang tersebut di putar maka diputar secara produktif di sektor yang real kemudian uang tersebut di distribusikan dengan sistem bagi hasil secara adil. 

Banyak diantara masyarakat kita yang masih belum memahami bagaimana sistem bagi hasil yang sebenarnya, sehingga persepsi masyarakat mengenai sistem syari'ah pun menyamakan dengan sistem pada umumnya. Pessepsi-persepsi inilah yang menyebabkan masyarakat takut mengambil langkah untuk hijrah dan berpindah pada sistem yang lebih kondusif bagi percepatan ekonomi tanpa melanggar hukum syar'i bagi seorang muslim khususnya.

Kesadaran masyarakat dalam memahami peran dan fungsi sistem bagi hasil dalam segala aspek muammalah memiliki pengaruh signifikan terhadap perputaran ekonomi yang adil dan merata. Sehingga, masalah ketimpangan yang belum selesai setidaknya dapat diminimalisir dengan usaha maksimum dari masyarakat dalam merubah arah perekonomian di Negeri ini. Tanpa disadari riba yang dianggap menolong perekonomian masyarakat justru secara perlahan menggerogoti kestabilan ekonomi hingga berdampak pada perekonomian secara global. 

Mengenai dampak yang terjadi akibat riba maka hal ini bukan persoalan keunggulan  sistem suatu agama tertentu yang harus diterapkan melainkan, kewajiban dan persoalam seluruh agama di dunia dalam mengatur hubungan kemanusiaan antar sesama manusia, yang berada pada  ekonomi berbeda antara kalangan menengah atas dan menengah bawah. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline