Lihat ke Halaman Asli

Tiara Natasya

Mahasiswi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Menyibak Kontroversi di Balik Kursi Pandemi

Diperbarui: 27 Oktober 2020   08:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : Tiara Natasya*

            Sejak kasus COVID-19 pertama kali dikonfirmasi di Indonesia yaitu pada 2 Maret lalu hingga saat ini belum ada kemajuan yang signifikan terkait penurunan kasus COVID-19 di tanah air, update kasus positif COVID-19 tanggal 26 Oktober 2020 bersumber dari covid19.go.id ada sekitar 392.934, data ini menunjukkan fakta bahwa situasi kita saat ini masih berada dalam mimpi buruk, kedatangan virus korona ke tanah air bukan saja membunyikan sirene bahaya di bidang kesehatan  tetapi korona juga sukses melaksanakan invasi ke bidang lainnya seperti ekonomi, pariwisata, pendidikan, dan bidang aktifitas lain, bahkan dunia perpolitikan pun tidak luput dari intervensi virus ini. Seperti yang kita ketahui, saat ini pemerintah sedang menyiapkan pilkada serentak se-Indonesia begitupun dengan  KPU Banten yang sudah mulai meyiapkan penyelenggaraan pilkada yang rencananya akan diselenggarakan pada tanggal 9 Desember mendatang di tengah situasi pandemi, tak heran jika hal ini menimbulkan beragam kritik tajam, di Banten sendiri tepatnya tanggal 7 September lalu Banten resmi menyatakan aktivasi status PSBB, mengutip sumber CNN Indonesia  “PSBB segera diperpanjang dari sekarang berlaku untuk seluruh kabupaten kota di Provinsi Banten“ kata Gubernur Banten, Wahidin Halim,

Hari ini Banten mencatat  ada 1.434 total kasus positif korona bahkan angka ini berpeluang mengalami  peningkatan, hal ini melahirkan pertanyaan-pertanyaan kontroversial, apakah kebijakan ini memang bijak?  Apakah  benar agenda pilkada ini terpaksa dilaksanakan demi berjalannya pemerintahan yang demokratis? Pemberlakuan sistem learn from home bagi pelajar yang sampai sekarang masih berlaku dan tentu saja ini bukanlah sebuah kabar bahagia bagi para pelajar  mengingat kendala sistem pembelajaran daring yang begitu banyak dan beragam, lalu mengapa pilkada didesak untuk tetap diselenggarakan? Apakah kedudukan pergantian kepemimpinan lebih penting dari pendidikan?  Lalu bagaimana dengan keselamatan para partisipan pemilu nanti?  jika kita telaah lebih dalam lagi keputusan ini tidaklah realistis bahkan hampir tidak rasional.

Kedudukan Politik dan Pendidikan

“pendidikan adalah senjata untuk mengubah dunia” Nelson Mandela, kutipan ini sekali lagi mengingatkan kita tentang pentingnya pendidikan, tanpa pendidikan tidak ada sistem yang berjalan dengan baik termasuk sistem politik. Politik adalah ilmu yang juga mempelajari tentang dominasi perilaku manusia, artinya manusia adalah aktor utama dalam dunia politik namun untuk terjun ke dunia politik manusia harus memiliki pendidikan yang memadai, maka dapat disimpulkan pendidikan dan kecerdasan aktor politik adalah hal fundamental demi terciptanya sistem politik yang dinamis, agar suatu pohon dapat berbuah perlu adanya penyiraman air ke akar pohon bukan menyiramkan air ke daunnya, untuk menciptakan sistem politik dan pemerintahan yang dinamis perlu adanya pembenahan dan penjagaan terhadap mutu  yang bersifat dasar yaitu pendidikan sang aktor. Namun anehnya pemerintah beserta kebijakannya seakan lebih memfokuskan hal-hal politik dibandingkan pendidikan hal ini menimbulkan sebuah retoris, mengapa sekolah harus menerapkan pembelajaran di rumah sedangkan kegiatan politik seakan lancar tanpa hambatan?

Freewill Manusia

PKPU Nomor 11 dan 13 tahun 2020 tentang pilkada di tengah bencana wabah korona, UU ini menerangkan bahwa kegiatan kampanye dilakukan melalui media elektronik dan cetak serta menaati protokol kesehatan, UU ini secara otomatis mengatur jalannya pilkada, penerapan protokol kesehatan di masa pilkada menjadi poin utama, pemerintah akan tetap menyelenggarakan pilkada dengan kewajiban menaati protokol kesehatan bagi partisipan, lantas apakah hal ini mampu menjawab keresahan masyarakat terkait pilkada di masa pandemi? Aturan UU boleh saja mengatur dan mengikat secara universal, namun ada satu fakta yang dilupakan, manusia memiliki  freewill  manusia berhak memilih diantar dua pilihan menaati peraturan atau melanggar. Selain itu, kita juga perlu mempertimbangkan faktor pendorong lain, tidak semua wilayah akan menerapkan protokol kesehatan secara tegas terutama masyarakat pedesaan yang masih minim wawasan seputar COVID-19.

          Fenomena ini secara tidak langsung telah menggiring pandangan kita ke ranah negatif, apakah  pelaksanaan pilkada di tengah pandemi murni demi terciptanya negara yang demokratis? Ataukah ada hasrat untuk menjadi singa selanjutnya?  Negara yang menganut sistem demokrasi tercermin dari adanya pergantian pemimpin, tapi perlu diingat hakikat demokrasi adalah dari rakyat untuk rakyat jika saat pilkada nanti ada masyarakat yang terinfeksi virus maka pemerintah gagal dalam mewujudkan poin terpenting dari demokrasi. Selain itu, manusia akan bertindak secara pragmatis begitupun dalam pembuatan kebijakan, kelompok yang mengeluarkan kebijakan berawal dari hasrat pribadi, objek pertama yang diuji setelah munculnya gagasan adalah apakah kebijakan ini sesuai dengan kelompok pribadi? jika tidak maka akan ada revisi, namun jika sesuai kelompok pembuat kebijakan akan menghias peraturan sedemikian indah sehingga membutakan masyarakat dan membuat masyarakat lupa tentang esensi sesungguhnya dari kebijakan tersebut.

Penulis merupakan mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa * 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline