Kekerasan seksual dapat dikategorikan sebagai bentuk perampasan terhadap kemerdekaan perempuan. Sehingga wajar saja saat ini, perempuan di Indonesia masih dibayang-bayangi dengan ketakutan karena penyelesaian kasus kekerasan seksual yang tak kunjung membaik. Bagaimana tidak? Menurut Data Sistem Informasi Online (Simfoni) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebut, terjadi 6.209 kasus kekerasan seksual pada perempuan dan untuk tahun ini, per 16 Maret 2021 telah terjadi 426 kasus (Kartinah, 2021).
Angka yang ditunjukkan ini tentu hanya sebagian dari yang terkuak. Hal ini membuktikan ada kecacatan hukum dalam penegakan dan penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Sebab angka tersebut merepresentasikan bahwa penegakan sanksi hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan tidak menimbulkan efek jera. Oleh karena itu, Masyarakat bersama pemerintah harus segera mengatasi kecacatan hukum penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.
Mengacu pada pengaturan hukum bagi pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan yang saat ini berlaku di Indonesia, ditemukan bahwa ternyata aturan hukum tersebut memang sudah seharusnya diperbarui. Hal ini dikarenakan aturannya yang sudah tidak lagi dapat mengikuti dinamika masyarakat dan tak lagi melindungi kepentingan hukum korban.
Aturan mengenai kekerasan seksual baik dalam KUHP maupun RKUHP masih diatur secara terbatas dan tidak menyeluruh. Beberapa kejahatan yang tidak diakomodasi secara menyeluruh dalam KUHP maupun RKUHP seperti intimidasi seksual termasuk ancaman/percobaan perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, dan perbudakan seksual (Atthalla Syalsabhila, 2020).
Maka apabila disimpulkan sebaliknya, jenis kasus kekerasan seksual yang bisa dibawa ke meja hijau hanya kasus yang termasuk dalam perkosaan (dengan konteks terbatas), pencabulan, dan persetubuhan (Jennifer, 2020). Hal ini membuktikan bahwa hukum belum memberikan jaminan dan perlindungan terhadap perempuan yang rentan menjadi korban kekerasan seksual.
Seperti yang dikemukakan sebelumnya, pelecehan seksual adalah satu dari beberapa bentuk kejahatan seksual yang tidak diakomodir oleh KUHP maupun RKUHP. Melihat fenomena yang terjadi di masyarakat, ditemukan bahwa beberapa kasus pelecehan seksual yang dialami oleh perempuan ternyata tidak selesai dengan hukuman yang membuat pelaku jera. Seperti yang terjadi pada mahasiswa UGM yang sedang menjalani KKN, dalam kasusnya pelaku pelecehan seksual terhadap mahasiswa UGM ini selesai tanpa proses litigasi/pengadilan.
Kasusnya selesai dengan permaafan dan sanksi sosial, pertimbangan ini dikatakan sebagai bentuk keadilan restoratif. Kasus lain terjadi pada perempuan berusia 19 tahun asal Sumba Barat (NTT) yang diperkosa oleh anggota DPRD Kabupaten Sumba Barat Daya dengan ancaman ditembak dan digorok dengan parang. Dalam kasus ini korban telah melaporkan ke polisi, namun alih-alih mengusut kasus dengan cepat, pihak kepolisian justru berdalih menunggu kelahiran anak yang dikandung korban untuk dilakukan tes DNA dan membiarkan pelaku bebas berkeliaran.
Mengetahui kasus tersebut tentu menimbulkan sebuah pertanyaan besar, dimanakah hukum yang hadir untuk melindungi kepentingan orang sebagai subjek hukum? Dalam menanggapi kedua kasus tersebut, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan bahwa, mengadakan kesepakatan permaafan antara pelaku dan korban dengan mengutamakan pemulihan pada korban setelah kerusakan (keadilan restoratif) bukan berarti bahwa pelaku dapat bebas begitu saja atas sanksi yang seharusnya ia dapatkan.
Sanksi sosial yang didapat pelaku merupakan konsekuensi yang memang sudah sepatutnya ia terima atas apa yang telah ia perbuat. Asfinawati juga menuturkan pendapatnya mengenai adanya penegakan hukum yang salah kaprah. Kasus pelecehan maupun kekerasan seksual bukanlah delik aduan yang harus menunggu adanya laporan untuk ditindaklanjuti, melainkan setelah mengetahui terjadinya pelecehan atau kekerasan seksual, polisi dapat melanjutkan proses hukum pada pelaku (Primastika, 2019). Hal inilah yang menjadi desakkan untuk pemerintah agar segera melakukan pembaruan dengan mengesahkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Mengingat tingginya angka kekerasan seksual hingga Komnas Perempuan menyebutkan bahwa setiap dua jam sekali, setidaknya ada tiga perempuan di Indonesia yang mengalami kekerasan seksual.
Terkait segala permasalahan hukum yang belum optimal dalam menjamin dan melindungi perempuan dari kekerasan seksual hendaknya menjadi pengingat bahwa ini adalah masalah bersama, pemerintah juga masyarakat. Negara melalui pemerintah memiliki tugas untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh warga nya tanpa terkecuali, termasuk perempuan.