Oleh: Uchy Nurillia Fidya Latif, Tiara Juniarti, Tri Ana Setyoningsih, Tsabita Fiddiini Sunyono
Dosen Pengajar: Dr. Istiqlaliyah Muflikhati, M.Si dan Ir. Moh. Djemdjem Djamaludin, M.Sc
Ilmu Keluarga dan Konsumen, IPB University
Masuknya Covid-19 ke Indonesia pada Maret tahun 2020 silam memberi dampak bahkan melumpuhkan beberapa sektor di Indonesia, salah satunya sektor pendidikan. Sekolah hingga perguruan tinggi ditutup, sehingga muncul kebijakan belajar dari rumah oleh pemerintah yang diterapkan sejak Maret 2021. Terjadi peralihan metode pembelajaran yang awalnya secara tatap muka menjadi secara daring.
Pembelajaran daring merupakan metode belajar yang tidak dibatasi oleh perbedaan waktu dan jarak, dilaksanakan melalui bantuan platform digital berbasis internet, tanpa ada pertemuan secara fisik antara pendidik dan peserta didik (Putra dan Irwansyah 2020). Sementara itu, penurunan angka kasus Covid-19 yang terjadi pada awal tahun 2022 telah mendorong pemerintah untuk menetapkan kebijakan pelaksanaan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) kembali dengan mengedepankan protokol kesehatan dan keselamatan yang ketat baik di sekolah maupun perguruan tinggi (Kemendikbud 2021).
Peralihan metode pembelajaran tersebut memberi dampak bagi para siswa, salah satunya berupa rasa stres yang dialami sebagian siswa remaja. Kondisi psikologis para remaja yang notabenenya masih rentan dan mudah terganggu diperparah dengan kondisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung untuk melakukan aktivitas seperti biasa. Terdapat beberapa sumber stres atau stressor yang menjadi penyebab timbulnya stres pada remaja selama pelaksanaan pembelajaran daring dan PTM.
Pada pembelajaran daring, siswa mengalami kendala seperti jaringan dan kebisingan di rumah yang dapat mengganggu konsentrasi dan memori, selain itu waktu bertemu secara langsung dengan teman dan orang lain berkurang sehingga mengakibatkan krisis percaya diri serta rasa bosan dan jenuh. Pada PTM, remaja harus beradaptasi dengan keadaan baru seperti belajar dengan menerapkan protokol kesehatan, adanya instruksi untuk diam di rumah sepulang sekolah, serta tugas sekolah yang melebihi kapasitas diri.
Stres apabila diartikan secara positif dapat menimbulkan motivasi untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat. Namun, stres yang tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan dampak buruk yang membahayakan, bukan hanya pada tubuh tetapi juga mental dan jiwa. Menurut Kemenkes (2018), stres pada remaja dapat memberikan dampak pada tubuh dan perasaan. Dampak pada tubuh yang dirasakan, seperti merasa kelelahan; kesulitan tidur; makan berlebih atau tidak nafsu makan; sakit atau nyeri pada kepala, leher dan bahu; serta sakit perut. Sementara itu, dampak pada perasaan yang timbul akibat stres, antara lain perasaan sedih, cemas, dan khawatir; lebih mudah marah dan kehilangan kesabaran; dan sulit berkonsentrasi dalam pembelajaran. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengelolaan atau manajemen stres dan kelelahan yang baik pada siswa remaja.
Manajemen stres dapat didefinisikan sebagai kemampuan seseorang dalam mengelola stres agar dapat dikendalikan dan dikontrol sehingga tidak menimbulkan efek yang berkepanjangan dan merugikan diri sendiri (Rahmawati et al. 2021). Usaha manajemen stres yang dilakukan oleh remaja adalah berusaha untuk menguasai, memberikan toleransi, memperkecil, dan mengurangi tekanan, baik eksternal maupun internal, termasuk konflik-konflik yang menyertai, khususnya konflik yang menguras sumber daya dalam diri individu. Beberapa manajemen stres yang dapat diterapkan oleh remaja selama pelaksanaan PTM di tengah situasi pandemi adalah sebagai berikut:
1. Berusaha lebih mengenal diri sendiri
Mengenal diri sendiri memiliki arti mengetahui kekuatan, kelemahan, dan hal-hal yang disukai atau tidak disukai yang dapat membantu remaja untuk menentukan strategi yang dilakukan untuk mengurangi stres (Barseli et al. 2020). Hal yang dapat dilakukan untuk mengenal diri sendiri seperti jujur kepada diri sendiri, berdialog dengan diri sendiri tentang apa yang sebenarnya ingin dicapai, dan menulis jurnal.
2. Menjalin komunikasi